BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Dan Rumusan Masalah
Dengan
meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi,
dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga dibutuhkan pula kehadiran
lembaga jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Dalam penyediaan
dana yang dibutuhkan untuk perkembangan ekonomi dan pembangunan oleh masyarakat
banyak, dilakukan oleh bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya lagi kepada masyarakat
dalam bentuk kredit. Sehingga untuk mencegah terjadinya kerugian karena tidak
kembalinya seluruh atau sebagian dari kredit yang telah disalurkan, bank perlu
memberi perhatian khusus terhadap masalah tersebut.
Mengingat
pentingnya kedudukan kredit dalam proses pembangunan, maka sudah seharusnya
kepentingan bank sebagai pemberi kredit, yakni agar kredit yang disalurkan
dibayar kembali, dapat dilindungi melalui suatu lembaga jaminan yang kuat dan
dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan, yaitu
suatu lembaga jaminan yang dikontruksikan dapat menjamin dan memberikan
kemudahan pelunasan suatu tagihan dalam hal debitor tidak membayar
utang-utangnya.
Sebenarnya
Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah memberikan pengaman kepada kreditor
dalam menyalurkan kredit kepada debitor, yakni dengan memberikan jaminan umum
menurut pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata yang menentukan bahwa semua harta
kekayaan kebendaan debitor baik bergerak atau tidak bergerak, yang sudah ada
maupun yang baru akan ada, menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan
kreditor. Apabila terjadi wanprestasi, maka seluruh harta benda debitor akan
dijual lelang dan dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing
kreditor. Namun oleh karena perlindungan yang berasal dari jaminan umum
tersebut dirasakan masih belum memberikan rasa aman kepada kreditor, sehingga
dalam praktek penyaluran kredit, bank merasa perlu untuk meminta jaminan khusus
terutama yang bersifat kebendaan. Karenanya kehadiran Undang-undang Hak
Tanggungan sebagai pengganti lembaga hipotik dan credietverband sangat
banyak manfaatnya.
Selama
ini lembaga hukum yang dapat dipergunakan dan berfungsi untuk menyelesaikan
masalah kredit macet, adalah :
- Pengadilan
Negeri, apabila kredit macet yang terjadi merupakan tagihan-tagihan dari
bank swasta.
- Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL), berfungsi
untuk menyelesaikan masalah kredit macet yang merupakan tagihan-tagihan
dari bank pemerintah.
Pelaksanaan
eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri selama ini hanya terhadap
tagihan bank, yang oleh pihak kreditor sebelumnya telah mengajukan permohonan
eksekusi terhadap obyek hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri di
wilayah mana hak tanggungan itu berada. Setelah debitor yang ingkar janji
dipanggil dan diberi tenggang waktu untuk membayar hutangnya dengan sukarela,
namun tetap lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan disita dengan sita
eksekutorial. Jika setelah disita debitor tetap lalai untuk membayar, maka
obyek hak tanggungan tersebut akan dilelang secara umum.
Proses
pelaksanaan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pihak
kreditor, sebenarnya tidaklah sulit. Karena disamping sertifikat Hak Tanggungan
berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dimana pada
sertifikat tersebut dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'', yang mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
pemegang Hak Tanggungan pertama juga mempunyai hak untuk melakukan eksekusi
langsung terhadap obyek Hak Tanggungan yang dijadikan sebagai jaminan kredit,
apabila debitor ingkar janji. Hal mana didasarkan pada kuasa yang diberikan
oleh debitor maupun oleh undang-undang kepada pihak kreditor.
Berdasarkan
pasal 6 UUHT jika debitur cedera janji (wanpretasi) pemegang hak tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kuasa sendiri
melalui pelelangan umum dan pelunasan piutang diambil dari hasil lelang. Inilah
yang disebut parate eksekusi.
Kemudian
merujuk rumusan pasal 6 UUHT proses eksekusi dapat dilakukan tanpa campur
tangan atau meluai pengadilan. Dengan kata lain tidak perlu meminta fiat
eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hak dari pemegang hak tanggungan
pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak
berdasarkan undang-undang. Jadi tanpa perjanjian pun hak itu sudah lahir.
Namun
dalam praktek, hal tersebut hampir tidak pernah dilaksanakan. Karena juru
lelang kadang kala menolak untuk melakukan penjualan di muka umum sebelum
adanya persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan alasan karena melalui
titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14 ayat (2).
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimanakah
pengaturan parte eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan
(Undang-undang No. 4 Tahun 1996)?
- Apakah
parate eksekusi obyek Hak Tanggungan pada kreditor (bank) telah dilakukan
sesuai dengan Pasal 6 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
(untuk selanjutnya disebut UUHT)?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun
yang menjadi tujuan dalam melakukan penelitian terhadap segala permasalahan
yang ada, adalah :
a.
Untuk mengetahui bagaimanakah dasar pengaturan
oarate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan (Undang-undang No. 4 Tahun
1996?
b.
Untuk mengetahui pelaksanaan parate eksekusi
obyek Hak Tanggungan pada pemegang hak tanggungan (kreditor), apakah telah
dilakukan sesuai dengan pasal 6 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang beerkaitan dengan tanah (untuk
selanjutnya disebut UUHT)?
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat
yang diharapkan dari penelilian ini :
a.
untuk menambah bahan kepustakaan dalam hukum
jaminan di Indonesia.
b.
untuk dijadikan bahan masukan bagi mereka yang
ingin mendalami persoalan eksekusi terutama eksekusi terhadap Hak Tanggungan.
c.
menjadi sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan
peraturan perundang-undangan terutama dalam hal mempercepat proses penyelesaian
kredit macet.
E.
Kajian Pustaka
Istilah
parate eksekusi secara implisit tidak pernah tertuang dalam peraturan
perundang-undangan. Parate eksekusi dari kata paraat yang berarti hak
itu siap siaga di tangan kreditor untuk menjual benda jaminan di muka umum atas
dasar kekuasaan sendiri.[1]
Pengaturan
parate eksekusi telah ada pada saat berlakunya lembaga hipotik, sebagaimana
yang diatur dalam pasal 1178 ayat (2) BW, yang isinya :
“Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang
hipotik pertama untuk, pada waktu dikarenakannya hipotik, dengan tegas minta
diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga
yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil
yang diperikatkan di muka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun
bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus
dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam pasal 1211 BW.”
Kewenangan
untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate eksekusi diberikan kalau
debitor wanprestasi, maka kreditor bisa melaksanakan eksekusi obyek jaminan
tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan.
Parate
eksekusi yang semula diatur di dalam hipotik (pasal 1178 ayat (2) BW) kemudian
tidak dapat dipungkiri diadopsi oleh UUHT, yang dalam pasal 6 UUHT. Untuk jelasnya
substansi pasal 6 UUHT dimaksud adalah :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mangambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut.”
Kalau
dibandingkan anatara pasal 6 UUHT dengan pasal 1178 ayat (2) BW ada perbedaan
antara parate eksekusi hipotik dengan parate eksekusi Hak Tanggungan, pada
hipotik lahir karena diperjanjikan, sedankan parate eksekusi Hak Tanggungan
lahir karena ditentukan oleh Undang-undang (ex
lege). Kemudian bertolak dari berbagai sumber hukum yang mengatur parate
eksekusi, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa parate eksekusi dalam
Undang-undang Hak Tanggungan adalah pelaksanaan penyelesaian hak tagih kreditor
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melaui pelelangan umum, tanpa didahului fiat
Ketua Pengadilan Negeri manakala debitor cidera janji.
Sebagai
lembaga jaminan, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Perjanjian jaminan yang melahirkan Hak
Tanggungan ini dibuat oleh para pihak dengan tujuan untuk melengkapi perjanjian
pokok yang umumnya merupakan perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit.
Sehingga dapat ditarik suatu pemahaman, bahwasannya hubungan hukum anatra para
pihak itu dijalin oleh 2 (dua) jenis perjanjian, yakni perjanjian kredit selaku
perjanjian pokok dan perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).[2]
Suatu
lembaga jaminan yang kuat, dalam Penjelasan Umum Nomor 3 UUHT, Hak Tanggungan
mempunyai 4 (empat) ciri pokok, yaitu :
a.
Memberikan kedudukan yang diutamakan atau
mendahului kepada pemegangnya;
b.
Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam
tangan siapapun obyek itu berada;
c.
Memenuhi atas spesialitas dan publisitas
sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada
pihak-pihak yang berkepentingan; dan
d.
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Adapun
hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan menurut pasal 4 ayat (1) UUHT
adalah (a) hak milik; (b) hak guna usaha; (c) hak guna bangunan. Selain hak-hak
atas tanah sebagaimana tersebut di atas, hak pakai atas tanah negara yang menurut
ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifat dapat
dipindah-tangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Agar
adanya kemudahan dan kepastian hukum terhadap eksekusi Hak Tanggungan khususnya
parate eksekusi apabila debitor cidera janji, diharapkan dapat direalisasikan
secara nyata. Pelaksanaan eksekusi pada Hak Tanggungan mudah dan pasti
merupakan salah satu prinsip dari Hak Tanggungan yang dijabarkan dalam pasal 20
UUHT, eksekusi Hak Tanggungan menurut 3 (tiga) ciri, yakni :
1.
Hak pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk
menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUHT (parate
eksekusi);
2.
Titel eksekutorial yang terdapat dalam
sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2); dan
3.
Eksekusi melalui penjaulan obyek Hak Tanggungan
di bawah tangan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan (pasal 20
ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang UUHT).
Ketiga
eksekusi yang dimaksud oleh pasal 20 UUHT tentunya mempunyai pengertian, ciri
dan prosedur yang berbeda satu sama lain.
Ketertarikan
membahas parate eksekusi dikarenakan, pertama, lembaga parate eksekusi
merupakan lembaga eksekusi di luar pengadilan, maksudnya eksekusi menyimpang
dari prinsip eksekusi yang diatur dalam Hukum Acara Perdata, tentunya
prosedurnya lebih cepat dari pada eksekusi yang diatur menurut Hukum Acara
Perdata. Kedua, dalam praktek hukum parate eksekusi dieleminir oleh Putusan
MARI Nomor 3210 K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986. Ketiga, parate eksekusi
yang diatur dalam UUHT terdapat kerancuan.
Kerancuan
tersebut dapat dilihat apabila membaca pasal 6 UUHT, maka menimbulkan
kebingunan, sebab penjelasan pasal 6 UUHT memberikan pemahaman bahwa kewenangan
menjual atas kekuasaan sendiri didasarkan pada janji, sedangkan pasal 6 UUHT
memberikan kewenangan menurut Undang-undang (ex
lege).
Adanya
perbedaan pengertian tentang kewenangan tersebut menunjukkan bahwa pembentuk
UUHT mempunyai sikap yang tidak konsisten, yang menyebabkan kebingungan dan
kekacauan bagi kreditor pada khusunya, sehingga menurut Sutan Remy Sjahdeini,
penjelasan pasal 6 UUHT tersebut justru kembali mementahkan harapan perbankan.[3]
Kemudian
kalau dikait antara pasal 6 UUHT dengan pasal 11 ayat (2) huruf c UUHT, yang
menyebutkan : “janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor ingkar
janji”, menimbulkan silang pendapat yang tiada henti-hentinya, bahwa dapat
dikatakan pembentuk UUHT dalam memberikan kewenangan (hak) pada kreditor
pertama tidak konsisten.
Dalam
rangka pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendri melalui
pelelangan umum, manakala debitor cidera janji, tertuang dalam pasal 20 ayat
(1) huruf a UUHT, yang menyatakan : Hak pemegang Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6. Namun apabila membaca penjelasan umum angka 9 UUHT
kemudian dihubungkan dengan Penjelasan pasal 14 ayat (2) dan (3). Pemahaman
dari kedua penjelasan tersebut menunjukkan kehendak pembentuk UU melalui
penafsiran otentiknya untuk :
(1)
Mengatur pelaksanaan parate eksekusi
sebagaimana maksud pasal 224 HIR/258 R.Bg.;
(2)
Eksekusi sertifikat Hak Tanggungan melalui tata
cara dan dengan menggunakan lembaha parate eksekusi sesuai dengan Hukum Acara
Perdata.
Pengaturan
eksekusi menurut Pasal 224 HIR dan 258 RBg adalah eksekusi yang ditujukan bagi grosse acte hipotik (sertifikat Hak
Tanggungan) dan grosse acte pengakuan
hutang. Kedua grosse acte tersebut
dimaksudkan, memang mempunyai hak eksekutorial, yang berarti mempunyai kekuatan
sebagai suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka
eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan suatu putusan pengadilan
yang harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan.
Untuk
membedakan Hak Tanggungan ini dari bentuk dan jenis jaminan-jaminan utang yang
lain, perlu dipahami asas-asas dari Hak Tanggungan yang tersebar dan diatur
dalam berbagai pasal dari UUHT, asas-asas tersebut diantaranya adalah :
1)
Asas droit de preference.
Dari
pengertian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUHT
tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu (pemegang Hak Tanggungan) terhadap
kreditor-kreditor lain.
Mengenai
apa yang dimaksudkan dengan pengertian "kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain" disebutkan di dalam
Penjelasan Umum angka 4 UUHT yang menyebutkan :
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa
jika debitor cidera janji kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual
melalui pelelangan urnum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan
perundang-urdangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu
tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku.
Asas ini adalah asas yang berlaku pula bagi
hipotik yang telah digantikan oleh Hak Tanggungan sepanjang yang menyangkut
tanah. Dalam ilmu hukum asas ini dikenal sebagai droit de preference.[4]
Keberadaan asas ini juga ditemukan dalam Penjelasan Pasal 6 dan ketentuan Pasal
20 ayat (1) UUHT.
2)
Asas droit de suite
Pasal 7
UUHT menetapkan asas, bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam
tangan siapapun obyek itu berada. Dengan demikian, Hak Tanggungan tidak akan
berakhir sekalipun obyek Hak Tanggungan itu beralih/berpindah tarigan kepada
pihak lain oleh karena sebab apapun juga. Ketentuan Pasal 7 UUHT ini
"merupakan materialisasi dari asas yang disebut 'droit de suite'
atau `zaakgevolg'. Asas ini juga merupakan asas yang diambil dari
hipotik yang diatur dalam pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUHPerdata".[5] Asas
ini memberikan sifat kepada Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan (zakelijkrecht)
sebagai hak yang mutlak, yang dapat dipetahankan terhadap siapapun.
3)
Asas spesialitas
Asas ini
menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang dapat
ditentukan secara spesifik. Dianutnya asas spesialitas oleh Hak Tanggungan
dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 8 UUHT yang menentukan :
(1)
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(2)
Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada
pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.[6]
serta ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e
undang-undang tersebut yang menentukan bahwa di dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan wajib dicantumkan "uraian yang jelas mengenai obyek Hak
Tangungan".[7]
Ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal di atas hanya mungkin terpenuhi apabila obyek
Hak Tanggungan telah ada dan secara spesifik dapat ditunjukkan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan. Asas ini dalam hipotik diatur oleh ketentuan Pasal
1174 KUHPerdata.
Menurut
Remy Sjandeini "Asas spesialitas tidak berlaku sepanjang mengenai
benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian
hari"[8],
karena wujud dari benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu belum diketahui,
dan baru akan ada dikemudian hari.
4)
Asas Publisitas
Salah
satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas atau asas keterbukaan, karena
itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk
lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak
ketiga. Asas ini di dalam hipotik diatur dalam Pasal 1179 KUHPerdata.
Pada
tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada kreditor, Hak
Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak Tanggungan itu baru lahir pada
saat dibukukannya dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. Oleh karenanya
kepastian mengenai saat didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut bukan saja untuk
menentukan kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditor lain, melainkan juga
menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang
juga pemegang Hak Tanggungan, dengan obyek yang sama sebagai jaminannya.
Mengenai
kewajiban didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan kepada Kantor Pertanahan
secara tegas diatur dalam Pasal 13 UUHT. Dalam pasal itu ditegaskan pula, bahwa
tanggal buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan adalah tanggal hari ketujuh
setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara
lengkap oleh Kantor Pertanahan, dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari
libur, maka buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja
berikutnya. Hari dan tanggal buku tanah tersebut adalah saat lahirnya Hak
Tanggungan.
Adapun
yang dimaksud dengan Bank di dalam tesis ini adalah bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana
Telah Diubah Dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yaitu "badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak".[9]
Menurut
ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Perbankan tersebut di atas, yang
dimaksud dengan Bank Umum adalah "bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran".[10]
Sedangkan yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat menurut ketentuan Pasal
1 angka 4 adalah "bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran".[11]
F.
Metode Penelitian
1.
Pendekatan Masalah
Penelitian
hukum ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan konsep (concept approach).
Pendekatan
undang-undang (statute aproach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani.
Selanjutnya
dicoba pula untuk melakukan pendekatan konseptual (concept approach) yang
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum. "Dengan mempelajari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin di
dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan
dengan isu yang dihadapi".[12]
Penggunaan
metode pendekatan demikian didasarkan pada pertimbangan bahwa spesifikasi
penelitian ini adalah penelitihan terhadap asas dan norma hukum yang terdapat
dalam hukum positif. Pendekatan undang-undang dilakukan untuk meneliti
aturan-aturan yang penormaannya justru sangat kondusif bagi pelaksanaan parate
eksekusi.
2.
Sumber Bahan Hukum
Bahan
hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. "Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas … terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim".[13]
Bahan hukum primer dalam hal ini adalah Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT),
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het
Herziene Indonesisch Reglement), Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar
Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten
Buiten Java en Madura), Peraturan Perundang-undangan lainnya serta Putusan-putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan-putusan pengadilan.
3.
Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam
penelitian ini bahan-bahan hukum yang relevan baik bahan hukum primer maupaun
bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui identifikasi, selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan urutan permasalahan dalam penelitian ini.
4.
Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan
hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan baik berupa peraturan
perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, buku-buku teks maupun
jurnal-jurnal hukum, dan lain sebagaimya, penulis uraikan dan hubungkan
sedemikian rupa, dan disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum
dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap masalah konkrit yang dihadapi, dan hasilnya
tidaklah dalam bentuk angka-angka yang memerlukan perhitungan. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini berusaha untuk mengungkap
asas dan norma hukum ataupun informasi-informasi yang terdapat dalam
undang-undang dan diolah dengan langkah berfikir yang sitematis dan logis untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
G.
Sistematika Penulisan
Di dalam
Tesis ini sistematikanya dibagi dalam 4 (empat) bab. Antara bab yang satu
dengan bab lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan,
sehingga terdapat gambaran yang menyeluruh dari isi penulisan tesis ini.
Di dalam
Bab I tentang pendahuluan, menguraikan tentang Latar Belakang Dan Rumusan
Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Kajian Pustaka; Metode
Penelitian; dan Sistematika Penulisan tesis ini.
Selanjutnya
dalam Bab II tentang Pengaturan Praktek Eksekusi dalam Undang-undang Hak
Tanggungan, adalah sebagai jawaban atas permasalahan yang pertama dan
berturut-turut akan dibahas tentang dasar hukum parate eksekusi; janji kuasa
menjual; Pasal 20 UUHT sebagai dasar eksekusi obyek Hak Tanggungan; Penjelasan
Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 4 Tahun
1996.
Kemudian
dalam Bab III tentang Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan
Undang-undang Hak Tanggungan, adalah sebagai jawaban atas permasalahan yang kedua
dan berturut-turut akan dibahas tentang Sarana Hukum Dan Lembaga Eksekusi Dalam
Penyelesaian Kredit Macet; Proses Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan serta
Pelaksanaan Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Dalam Praktek Perbankan.
Dan
terakhir pada Bab IV merupakan bab Penutup yang menyimpulkan jawaban-jawaban
atas permasalahan berdasarkan uraian dalam bab kedua dan bab ketiga, dengan
disertai saran-saran sebagai kelengkapan penulisan tesis ini.
BAB II
PENGATURAN PARATE EKSEKUSI DALAM
UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN
A.
Dasar Hukum Parate
Eksekusi
Sebenarnya istilah parate ekskusi secara tersurat tidak pernah
tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Istilah parate eksekusi
sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya secara etimologis
berasal dari kata “paraat” artinya siap ditangan, sehingga parate
eksekusi dikatakan sebagai sarana yang siap di tangan. Menurut kamus hukum,
parate eksekusi mempunyai arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses
pengadilan atau hakim.[14]
Pengertian parate eksekusi yang diberikan oleh doktrin,[15] “kewenangan untuk menjual
atas kekuasaan sendiri atau parate eksekusi, diberikan arti, bahwa kalau
debitor wanprestasi, kreditur dapat melaksanakan eksekusi obyek jaminan, tanpa
harus minta fiat dari Ketua Pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main dalam
Hukum Acara, untuk itu ada aturan mainnya sendiri. Tidak perlu ada sita lebih
dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya prosedurnya lebih mudah
dan biaya lebih mudah.
Sehingga istilah parate eksekusi dapat dikatakan sebagai kewenangan
untuk menjual atas kekuasaan sendiri melaui lembaga pelelangan umum tanpa
melaui fiat Ketua Pengadilan.
Dalam UUHT istilah parate ekskusi secara implicit justru tersurat
dan tersirat, khususnya diatur dalam penjelasan umum angka 9 UUHT, yang
menyebutkan :
“Salah satu cirri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti
dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum
ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku,
dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tetnang eksekusi Hak
Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate ekskusi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR dan pasal 258 R.Bg.”
Penjelasan umum tersebut diatur, maksud pembentuk UUHT menyatakan
meskipun pada dasarnya eksekusi secara umum diatur oleh Hukum Acara Perdata,
namun untuk membuktikan salah satu cirri Hak Tanggungan terletak pada
pelaksanaan eksekusinya adalah mudah dan pasti. Oleh karena itu secara khusus
ketentuan ekskusi Hak Tanggungan diatur lemabga parate eksekusi.
Pengaturan parate eksekusi dalam UUHT, maka dasar berpijaknya adalah
pada pengaturan mengenai eksekusi Hak Tanggungan, yang diatur dalam pasal 20
ayat (1) UUHT yang menyatakan :
“ (1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
a.
Hak pemegang Hak Tanggungan
pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6,
atau
b.
Titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14
ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melaui pelelangan umum menurut tata cara
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunsan piutang
pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor
lainnya.”
Jadi pada pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, dinyatakan bahwa apabila
debotor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek
Hak Tangungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUHT. Sedangkan teks yuridis
pasal 6 UUHT substansi adalah :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasannya dari hasil penjualan tersebut.”
Esensi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6 UUHT tersebut, adalah
:
1)
Debitor cidera janji;
2)
Kreditor pemegang Hak Tangungan
pertama diberi hak;
3)
Hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekhususan sendiri;
4)
Syarat penjualan melaui
pelelelangan umum;
5)
Hak kreditor mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
6)
Hak kreditor mengambil
pelunasan piutangnya sebatas hak tagih.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6 UUHT menunjukkan ada 2 (dua)
hal yang penting manakala debitor wanprestasi, yaitu hak dan pelaksanaan hak
bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama.
Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri pada pasal 6 UUHT
seperti halnya dalam pasal 1155 B.W. yang mengatur tentang parate eksekusi pada
obyek gadai telah diberikan ex lege. Hal tersebut jelas berbeda dengan
hipotik, hak kreditor pemegang hipotik pertama mempunyai hak parate eksekusi
apabila telah diperjanjikan antara kreditor dengan debitor selaku pemberi
jaminan.
Dapat dipahami tujuan pembentuk UUHT untuk membentuk lembaga parate
eksekusi, selain memberikan sarana yang memang sengaja diadakan bagi kreditor
pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kembali pelunasan piutangnya
dengan cara mudah dan murah, dengan maksud untuk menerobos formalitas hukum
acara, di satu sisi tujuan pembentukan parate eksekusi secara Undang-undang (ex
lege), dengan maksud untuk memperkuat posisi dari kreditor pemegang Hak
Tanggungan pertama pada pihak-pihak yang mendapat hak dari padanya.[16]
Dalam menggunakan pasal 6 UUHT dikarenakan pelaksanaan penjualan
obyek Hak Tanggungan hanya melaui pelelangan umum, tanpa harus meminta fiat
Ketua Pengadilan Negeri. Terutama menunjukkan efisiensi waktu dibandingkan dengan
eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Mengingat kalau prosedur eksekusi melalui formalitas Hukum Acara, proses yang
dilalui memerlukan waktu yang lama dan rumit prosedurnya. Parate eksekusi lebih
murah dibandingkan dengan pelaksanaan eksekusi menggunakan titel eksekutorial,
karena tidak menanggung biaya untuk mengajukan permohonan penetapan eksekusi
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Maka pasal 6 UUHT merupakan dasar hukum
berlakunya parate eksekusi manakala debitor wanprestasi, yang dipergunakan
sebagai sarana yang sangat baik demi penyesuaian terhadap kebutuhan ekonomi.
B.
Janji Kuasa Menjual
Dalam
pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan
sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang – piutang.
Sesuai
dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya haruslah
merupakan ikatan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan
hutang – pituang ini dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau harus dibuat
dengan akta otentik, bergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi
perjanjian itu.
Janji-janji
untuk memberikan Hak Tangungan sebagai pelunasan hutang disebut dengan tahap
Pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang didahului dengan hutang piutang yang
dijamin, dan tahap pendaftaran oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat
lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Sehubungan
dengan batasan dalam judul tesis tersebut di atas, yaitu tentang parate
eksekusi Hak Tanggungan dalam praktek perbankan, maka sekarang akan ditinjau
hal-hal apa saja yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam eksekusi yang
dilaksanakan sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan (kreditor) tanpa adanya
bantuan atau campur tangan pengadilan negeri, melainkan hanya berdasarkan
bantuan pejabat lelang atau Kantor Pelayananan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) atau apa yang disebut dengan parate eksekusi Hak Tanggungan. Sebab, Hak
Tanggungan sebagai salah satu hak jaminan kebendaan dalam rangka pelunasan
utang debitor kepada kreditor, menurut pengamatan kami adalah paling banyak dan
paling populer digunakan dalam dunia perkreditan dewasa ini.
1.
Janji Untuk Menjual Atas
kekuasaan Sendiri.
Penjualan
agunan secara lelang yang merupakan upaya paksa (represif) sebenarnya
selalu dihindari oleh kreditor. Biasanya kreditor melakukan upaya pendekatan
persuasif, misalnya dengan meminta pihak debitor menjual di bawah tangan atas
obyek jaminan, dan hasilnya digunakan untuk melunasi utangnya, atau upaya
restrukturisasi kredit lainnya. Namun upaya persuasif kadang-kadang tidak dapat
dilakukan, oleh karena itu digunakan pendekatan represif (eksekusi) dengan
jalan obyek jaminan dijual secara lelang.
Hal yang
penting untuk dikemukan sehubungan dengan pembahasan tentang dasar hukum parate
eksekusi Hak Tanggungan adalah adanya janji-janji Hak Tanggungan, yaitu
janji-janji yang dapat dan sekarang selalu diperjanjikan oleh pemegang Hak
Tanggungan, yang memberikan kepada pemegang Hak Tanggungan suatu kemudahan
dalam mengambil pelunasan dan suatu kedudukan yang diutamakan, yang tentunya
sangat menarik dan menguntungkan bagi kreditor/pemegang Hak Tanggungan.
Dari
berbagai macam janji-janji Hak Tanggungan yang dapat diperjanjikan oleh para
pihak, penulis akan mengemukakan janji yang berkaitan dengan parate eksekusi,
yaitu "janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri" (beding van
eigenmachtig verkoop). Janji seperti itu diatur dalam Pasal 11 ayat (2)
UUHT yang menyebutkan :
Dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain.
………………………………………………………………………
e. janji bahwa pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak
Tanggungan apabila debitor cidera janji.
………………………………………………………………………
j. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan
akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.[17]
Undang-undang
Hak Tanggungan dalam hal ini hanya mengingatkan saja kepada kreditor/pemegang
Hak Tanggungan akan kemungkinan untuk memperjanjikan janji-janji seperti itu,
karena pada asasnya orang dapat memperjanjikan apa saja, asal tidak
bertentangan dengan undang‑undang yang bersifat memaksa, tata krama
(kesusilaan) dan ketertiban umum.
Sebelum
berlakunya UUHT yang menggantikan ketentuan mengenai hipotik sebagaimana tersebut
dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, janji untuk menjual atas
kekuasaan sendiri ini telah diatur dalam Pasal 1178 ayat (2) yang berbunyi :
Namun diperkenankanlah
kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik,
dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi
semestinya, atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan
dikuasakan menjual persil yang diperikatkan di muka umum, untuk mengambil
pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu.
Janji tersebut harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam pasal
1211.[18]
Dimuatnya
janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian
didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut juga mempunyai
kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Menurut Remy Sjandeini :
Janji-janji yang disebutkan
dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat fakultatif dan tidak limitatif.
Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak
dicantumkan, baik sebagian maupun seluruhnya. Bersifat tidak limitatif karena
dapat pula diperjanjikan janji-janji lain selain dari janji-janji yang telah
disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.[19]
Pada prinsipnya seorang pemegang Hak Tanggungan bebas untuk
memperjanjikan klausula ini atau tidak. Tentang harus atau tidaknya klausula
ini diperjanjikan, saat ini bukanlah hal yang perlu dipersoalkan lagi, karena
Akta Pemberian Hak Tanggungan sudah tercetak dan disediakan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan dijual melalui Kantor Pos yang format blanko
formulirnya dibuat dalam bentuk yang seragam berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak
Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan, yang di dalamnya sudah tercetak
janji seperti itu, sehingga tidak mungkin lagi ada Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) yang lupa untuk mencantumkannya.
Memang di dalamnya tidak secara tegas menunjuk kepada ketentuan
Pasal 11 ayat (2) UUHT, akan tetapi intinya adalah sama, yaitu dimana
disebutkan :
• Jika Debitor tidak
memenuhi kewajiban untuk melunasi utangnya, berdasarkan perjanjian
utang-piutang tersebut di atas, oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua selaku Pemegang
Hak Tanggungan Peringkat Pertama dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima
kewenangan, dan untuk itu kuasa, untuk tanpa persetujuan terlebih dahulu dari
Pihak Pertama :
a.
menjual atau suruh menjual
dihadapan umum secara lelang Obyek Hak Tanggungan baik seluruhnya maupun
sebagian-sebagian;
b.
mengatur dan menetapkan waktu,
tempat, cara dan syarat-syarat penjualan;
c.
menerima uang penjualan,
menandatangani dan menyerahkan kwitansi;
d.
menyerahkan apa yang dijual itu
kepada pembeli yang bersangkutan;
e.
mengambil dari uang hasil
penjualan itu seluruhnya atau sebagian untuk melunasi utang Debitor tersebut di
atas; dan
f.
melakukan hal-hal lain yang
menurut Undang-Undang dan peraturan hukum yang berlaku diharuskan atau menurut
pendapat Pihak Kedua perlu dilakukan dalam rangka melaksanakan kuasa.
………………………………………………………………………
• Jika Pihak Kedua
mempergunakan kekuasaannya untuk menjual Obyek Hak Tanggungan, Pihak Pertama
akan memberikan kesempatan kepada yang berkepentingan untuk melihat Obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan pada waktu yang ditentukan oleh Pihak Kedua dan
segera mengosongkan dan menyerahkan Obyek Hak Tanggungan tersebut kepada Pihak
Kedua atau pihak yang ditunjuk oleh Pihak Kedua agar selanjutnya dapat
menggunakan dalam arti kata yang seluas-luasnya.[20]
Meskipun
dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut ditetapkan, bahwa yang boleh
memperjanjikan klausula seperti itu hanya pemegang Hak Tanggungan yang pertama,
namun dalam prakteknya semua pemegang Hak Tanggungan memperjanjikan klausula
seperti itu, karena aktanya sudah tercetak dalam bentuk yang seragam.
Undang-undang tidak melarang pemegang Hak Tanggungan lainnya untuk
memperjanjikan kewenangan seperti itu, sebab dikemudian hari, karena adanya
pergeseran, ia mungkin akan berkedudukan sebagai pemegang Hak Tanggungan
pertama, yaitu kalau Hak Tanggungan pertama, karena pelunasan akan menjadi
hapus dan pemegang Hak Tanggungan yang di bawahnya akan bergeser ke atas
menjadi yang pertama.
2.
Dasar Kewenangan Menjual
Berdasarkan Undang-undang.
Pada masa
yang lalu memang semua pemegang hipotik selalu memperjanjikan kuasa ex Pasal
1178 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan tidak pula ada ketentuan
undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan kepada pemegang hipotik
untuk menjual obyek hipotik atas kekuasaan sendiri, dan pemegang hipotik
pertama hanya mempunyai hak seperti itu kalau ia dengan tegas
memperjanjikannya. Karena janji ex Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang‑undang
Hukum Perdata tersebut selalu diperjanjikan, “maka ada yang menyebutnya sebagai
`suatu formula tetap dan dapat dikatakan tidak pernah dilupakan”.[21] Sehingga timbul
pertanyaan, mengapa hak ini tidak dianggap sebagai hak yang sudah termasuk di
dalam hak hipotik.
Saat ini
dengan diberlakukannya UUHT, selain "janji untuk menjual atas kekuasaan
sendiri" berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) diperbolehkan untuk
dimuat, bahkan secara baku telah dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 6 undang-undang tersebut telah
pula ditegaskan bahwa "Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyak Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut".[22]
C.
Pasal 20 UUHT sebagai
Dasar Eksekusi Obyek Hak Tanggungan
Salah satu fasilitas atau ciri yang diberikan oleh Undang-undang Hak
Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, maka eksekusinya mudah dan
pasti, hal tersebut dapat dilaksankan jika pemberi hak tanggungan (debitor)
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan, demikian
disebutkan dalam penjelasan angka 9 UUHT. Adapun mengenai eksekusi obyek Hak
Tanggungan yang diatur dalam pasal 20 UUHT pemegang Hak Tanggungan diberikan
pilihan eksekusi sebagai berikut :
Hak
pemegang Hak Tanggungan pertama sebagaimana dimaksud di atas, telah pula
dipertegas kembali di dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang menyebutkan :
Apabila debitor cidera
janji, maka berdasarkan :
a.
hak pemegang Hak Tanggungan
pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
atau
b.
titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara
yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang
pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor
lainnya.[23]
Ketentuan
yang diatur dalam Pasal 6 maupun Pasal 20 ayat (1) UUHT ini sebenarnya tidak
saja sejalan dan mempertajam apa yang telah diatur dalam Pasal 11 ayat (2) atau
apa yang diatur sebelumnya dalam Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum
Perdata tentang beding van eigenmachtige verkoop pada lembaga hipotik/credietverband,
tapi juga bermakna bahwa Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT ini
menghendaki kewenangan kreditor untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri tersebut, dapat diartikan bukan saja karena diperjanjikan,
melainkan hak atau kewenangan kreditor tersebut ada padanya karena memang
undang-undang sendiri juga memberikan padanya atau menetapkannya demikian (ex
lege).
Menurut Herowati Poesoko :
Dari konsep Rancangan Undang-Undang terlihat
adanya kehendak Pembentuk UUHT untuk menjadikan hak pemegang Hak Tanggungan
pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri sebagai suatu hak yang timbul
karena Undang-Undang, bukan karena janji yang diberikan oleh pemberi Hak
Tanggungan.
Tetapi kemudian, setelah melalui pembahasan
di DPR, terjadi perubahan dengan ditambahkannya janji untuk menjual atas
kekuasan sendiri ke dalam rangkaian janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11
ayat (2).[24]
Terhadap
adanya pendapat (sebagaimana juga Herawati Poesoko) yang menyatakan bahwa
substansi Penjelasan Pasal 6 UUHT jika dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (2) huruf
e dan blanko formulir Akta Pemberian Hak Tanggungan yang mencantumkan janji
untuk menjual atas kekuasaan sendiri adalah tidak sinkron dengan substansi
Pasal 6, oleh karena berdasarkan Pasal 6 UUHT bahwa hak/kewenangan tersebut
adalah didasarkan pada ex lege, sedangkan Penjelasan Pasal 6 jo Pasal 11
ayat (2) huruf e didasarkan pada janji, sehingga dianggap membingungkan, mana
yang benar, apakah kewenangan tersebut diberikan secara ex lege atau
karena diperjanjikan?, menurut penulis hal ini sepintas memang terlihat
demikian, seolah-olah terjadi kontradiksi ataupun kerancuan yang menimbulkan
inkonsistensi norma yang berkaitan dengan hak/kewenangan pemegang Hak
Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
(parate eksekusi).
Akan
tetapi jika kita amati ketentuan yang dimuat dalam Penjelasan Pasal 6 UUHT yang
menyatakan :
Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan
yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama
dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut
didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila
debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari
pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan ini lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa
hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan."[25]
maupun Penjelasan Pasal 11
ayat (2) huruf e yang juga menyatakan "Untuk dipunyainya kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
dicantumkan janji ini".[26], maka penulis sependapat
dengan apa yang dikemukakan oleh Kartini Muljadi dan Gunaan Widjaja yang
menyatakan bahwa :
Hak dari pemegang Hak
Tanggungan untuk melaksanakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 6
Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut adalah hak yang semata-mata diberikan
oleh undang-undang. Walau demikian tidaklah berarti hak tersebut demi hukum
ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan atas hak atas tanah.[27]
sehingga jika hal tersebut
tidak diperjanjikan lebih dulu, maka kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama
tidaklah mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 20 ayat
(1) huruf a UUHT, akan tetapi eksekusinya haruslah dilakukan melalui titel
eksekutorial sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b undang-undang
tersebut. Dari pemahaman ini akhirnya bisa dicermati maksud pembentuk
undang-undang mencantumkan/memberikan alternatif penyelesaian bagi
kreditor/pemegang Hak Tanggungan dalam hal dilakukan eksekusi sebagaimana
tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, apakah dilakukan melalui Parate
Eksekusi atau harus dilakukan melalui titel eksekutorial yang proses
pelaksanaannya harus melalui fiat eksekusi dari pengadilan negeri.
Demi
tercapainya suatu kepastian hukum dalam rangka melindungi kepentingan pemegang
Hak Tanggungan pertama sesuai dengan uraian pemahaman tersebut di atas,
haruslah dipandang bahwa hak/kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri
tersebut diperoleh oleh kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama tidak
semata-mata oleh karena diperjanjikan, tetapi juga karena undang-undang
menetapkan demikian (setelah terlebih dahulu diperjanjikan). Hal ini adalah
untuk lebih menekankan bahwa undang-undang memberikan jaminan dalam aturan yang
konkrit sebagai norma yang mengikat bahwa "hak untuk menjual atas
kekuasaan sendiri" tersebut adalah sarana yang utama bagi
kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kemudahan dalam
rangka mendapatkan kembali pelunasan piutangnya, yang merupakan salah satu
perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai olehnya sebagai
pemegang Hak Tanggungan pertama.
Untuk tidak menimbulkan multitafsir dalam proses eksekusinya
dikemudian hari, maka "janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri"
sebagaimana telah tercetak secara baku dalam blanko formulir Akta Pembebanan
Hak Tanggungan haruslah tetap dipertahankan ataupun diperjanjikan oleh pemberi
maupun pemegang Hak Tanggungan agar hak/kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6
UUHT dapat dilaksanakan, kecuali pihak-pihak dari sejak semula memang menginginkan
ataupun menyepakati lain.
D.
Penjelasan Umum Angka 9
Dan Penjelasan Pasal 14 Ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996
Dalam
Penjelasan Umum angka 9 UUHT menyebutkan salah satu ciri Hak Tanggungan yang
kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera
janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum
Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus
ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang
mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224
Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene lndonesisch Reglement)
dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement
tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura).
Sehubungan dengan itu pada
sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak
Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Selain itu sertifikat Hak Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai
pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk eksekusi hypotheek
atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal
kedua reglemen tersebut.
Agar ada kesatuan pengertian
dan kepastian mengenai penggunaan ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan
lebih lanjut dalam Undang-undang ini, bahwa selama belum ada peraturan
perundangan-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi hypotheek
yang diatur dalam kedua Reglemen tersebut, berlaku terhadap eksekusi Hak
Tanggungan.[28]
Apabila
Penjelasan Umum angka 9 tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT yang
memberikan hak kepada kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, sedangkan
Penjelasan Umum angka 9 mengatur agar parate eksekusi pelaksanaannya didasarkan
kepada Pasal 224 HIR/258 RBg yang sebenarnya ditujukan kepada grosse akta
hipotik dan grosse akta' pengakuan hutang yang mempunyai hak eksekutorial
sebagai suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana
eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan putusan pengadilan yang
harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, maka jelas terlihat
bahwa pembentuk undang-undang sendiri juga telah mengulangi kekeliruan yang
terdapat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam putusannya No. 3210
K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, yaitu dengan mencampuradukkan antara
pengertian parate eksekusi dengan pengertian eksekusi berdasarkan grosse
akta/sertifikat Hak Tanggungan dimana pelaksanaannya memang harus dilakukan
menurut ketentuan Pasal 224 HIR/268 RBg. Lantas, apa gunanya orang
memperjanjikan parate eksekusi di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan?, dan apa
gunanya ketentuan Pasal 6 dimuat dalamUUHT ?.
Apa yang
disebutkan dalam Penjelasan angka 9 UUHT tersebut jelas tidak saja bertentangan
dengan ratio legis dimuatnya ketentuan Pasal 6 dalam UUHT tersebut,
tetapi juga telah menunjukkan sikap inkonsistensi dari pembentuk undang-undang
yang telah memberikan kewenangan kepada kreditor/pemegang Hak Tanggungan
pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum, dan keadaan ini akhirnya kembali mementahkan harapan para
pelaku ekonomi khususnya kalangan perbankan. Untuk itu, nampaknya masih
diperlukan suatu pembahasan yang lebih mendalam agar tidak terjadi kerancuan
pengaturan dan penganuliran terhadap lembaga parate eksekusi dalam praktek
hukum, sebab pengaturan parate eksekusi dalam UUHT diharapkan dapat menjadi
tiang pokok bagi lembaga jaminan Hak Tanggungan.
Dalam
Pengertian parate eksekusi (hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri)
terkandung arti, bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditor bisa melaksanakan
eksekusi atas obyek jaminan (Hak Tanggungan) melalui pelelangan umum, tanpa
harus minta fiat dari Ketua Pengadilan Negeri, tanpa harus mengikuti aturan main
dalam hukum acara, tidak perlu ada sita terlebih dahulu, karena itu prosedurnya
lebih mudah dengan biaya yang lebih murah. Sedangkan eksekusi berdasarkan Pasal
224 HIR/258 RBg harus dilakukan di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri dengan mengikuti hukum acara yang berlaku layaknya eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Apabila
pelaksanaan parate eksekusi harus melalui dan atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri (Pasal 224 HIR/258 RBg), hal ini jelas menyimpang dari Pasal 6 UUHT yang
merupakan peraturan yang sifatnya substantif. Jadi seharusnya pembentuk
undang-undang tidak mendasarkan pelaksanaan parate eksekusi pada Pasal 224
HIR/258 RBg seperti yang disebutkan oleh Penjelasan Umum angka 9 UUHT tersebut.
Kekeliruan
pembentuk undang-undang yang telah menyamakan pengertian/prosedur eksekusi
berdasarkan parate eksekusi dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial
(sertifikat Hak Tanggungan) sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum angka 9,
ternyata telah diulangi kembali dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT
dengan menyebutkan :
Irah-irah yang dicantumkan
pada setifikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan
untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada setifikat Hak Tanggungan,
sehingga apabila debitor cidera janji, siap untuk diseksekusi seperti halnya
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melaiui
tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan
peraturan Hukum Acara Perdata.[29]
Dari
kedua penjelasan tersebut, pembentuk undang-undang telah menafsirkan sama
tentang prosedur parate eksekusi dengan prosedur eksekusi sertifikat Hak
Tanggungan, yaitu menggunakan prosedur sesuai dengan Hukum Acara Perdata. Jadi
harus melalui izin dan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, dan jika debitor
benar-benar cidera janji (wanprestasi), maka pemegang Hak Tanggungan pertama
dapat melaksanakan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dengan cara
menjual lelang obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi)
tapi penjualannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg. Disini pelaksanaan
parate eksekusi mengalami pemaknaan ganda, satu sisi pelaksanaannya langsung
melalui pelelangan umum (Pasal 6 UUHT) tapi di sisi lain harus mendapatkan fiat
dari Ketua Pengadilan Negeri (berdasarkan Pasal 224 HIR/258 RBg).
Sebenarnya
jika kita amati ketentuan Pasal 26 yang mengatur tentang Ketentuan Peralihan
UUHT dimana disebutkan "Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai
eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan".[30], dan dengan memperhatikan
pula penjelasannya yang menyebutkan :
Yang dimaksud dengan peraturan
mengenai eksekusi hypotheek yang ada dalam pasai ini, adalah
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941-44)
Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement
tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura,
Staatsblad 1927-227).
Ketentuan Pasal 14 yang
harus diperhatikan adalah bahwa grosse acte hypotheek yang berfungsi
sebagai surat tanda bukti adanya hypotheek, dalam hal Hak Tanggungan
adalah sertifikat Hak Tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai
pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek atas tanah yang tersebut
di atas.
Sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelesan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam Pasal ini memberikan
ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut. Ketentuan hukum acara di atas
berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertifikat Hak
Tanggungan sebagai dasar pelaksanaarnya.[31]
di sini pembentuk
undang-undang telah memberikan pemahaman yang benar, bahwa eksekusi Hak
Tanggungan yang pelaksanaannya di dasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg adalah
eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan (titel
eksekutorial), yaitu dilaksanakan dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan
sebagai dasar pelaksanaannya. Pemahaman inilah yang bersesuaian atau tidak
menyimpang dengan apa yang dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT tentang
pilihan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat
dalam sertifikat Hak Tanggungan. Menurut Herowati Poesoko "Aturan yang
menyimpang tentunya bukan untuk digunakan melainkan patut dan layak untuk
diabaikan atau bahkan tidak perlu digunakan sebab dapat menjadi kendala bagi
salah satu tujuan hukum yakni kegunaan (zwekmaszigkeit)".[32]
Berkenaan
dengan hal yang telah dikemukakan di atas, dan agar tidak lagi ada keraguan dalam
pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan parate eksekusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 UUHT, ada baiknya diperjelas terlebih dahulu, apakah
hal-hal yang dikemukakan atau ditentukan dalam memori penjelasan suatu undangundang
mempunyai sifat mengikat secara hukum ?, sebab apa yang telah dikemukakan oleh
Penjelasan Umum angka 9 maupun Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT
sebagaimana tersebut diatas, sudah tidak lagi sekedar bersifat menjelaskan,
tetapi telah memberikan ketentuan baru di luar pasal yang dijelaskan.
Menurut
Remy Sjandeini :
Memori Penjelasan
Undang-undang tidak boleh bertentangan dengan dan tidak boleh memberikan
ketentuan tambahan di luar (pasal-pasal dari) undang-undang yang dijelaskannya.
…. Memori Penjelasan suatu Undang-undang tidak mengikat secara hukum karena
suatu undang-undang berlaku dan mengikat sekalipun seandainya telah dikeluarkan
tanpa diikuti Memori Penjelasan. Sebaliknya, suatu Memori Penjelasan dari suatu
undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa adanya undang-undang (yang
dijelaskan oleh Memori Penjelasan tersebut).[33]
Apabila
Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 6 UUHT yang telah memberikan rumusan norma
yang jelas tentang "hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
dengan kekuasaan sendiri obyek Hak Tangggungan melalui pelelangan umum (parate
eksekusi)" dihubungkan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Remy
Sjandeini, maka Penjelasan Umum angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan
(3) UUHT jelas tidak dapat dipakai sebagai sandaran terhadap pelaksanaan parate
eksekusi Hak Tanggungan, karena disamping bertentangan dengan ratio legis
pengaturan parate eksekusi, memori penjelasan itu sendiri juga tidak mengikat
secara hukum, sehingga oleh karenanya haruslah diabaikan.
BAB III
PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN
PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN
A. Sarana Hukum Dan Lembaga Eksekusi Dalam Penyelesaian Kredit Macet
Upaya
penyelesaian masalah kredit macet umumnya diawali dengan upaya-upaya dari bank
sebagai pihak kreditor antara lain dengan cara melakukan penagihan secara
langsung oleh bank kepada debitor yang bersangkutan untuk segera melunasi
kredit atau utang-utangnya.
Apabila
penyelesaian dengan cara tersebut tidak berhasil dilaksanakan, pada umumnya
upaya yang dilakukan oleh bank adalah melalui prosedur hukum. Sehubungan dengan
hal tersebut, terdapat berbagai sarana hukum dan beberapa lembaga eksekusi yang
dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaian masalah kredit macet.
Adapun
sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaian masalah
kredit macet perbankan adalah :
1.
Pelaksanaan Pasal 6 UUHT
Dalam
pasal 6 UUHT, disebutkan : "Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut".[34]
Dari
ketentuan tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan penjualan obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tidak memerlukan fiat atau
persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat serta tidak memerlukan grosse
akta, namun pelaksanaan pasal dimaksud harus dilakukan melalui Kantor Lelang
Negara atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Dalam hal ini
kreditor bertindak sebagai pihak penjual/pemohon lelang.
Sebelum
berlakunya UUHT, sebenarnya tentang adanya hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, juga telah diatur
dalam pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal tersebut bahwa
kreditor pemegang hipotik pertama dapat diberi kuasa untuk menjual barang
agunan dimuka umum untuk melunasi utang pokok atau bunga yang tidak dibayar
oleh debitor sebagaimana mestinya.
Dari
uraian di atas, terlihat adanya persamaan antara Pasal 6 UUHT dan Pasal 1178
ayat (2) KUHPerdata, yaitu dalam hal pengaturan tentang kewenangan kreditor
untuk menjual barang jaminan di muka umum untuk pelunasan utang apabila debitor
ingkar janji. Namun dengan keluarnya UUHT tersebut, maka ketentuan-ketentuan
yang telah ada sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi dan tidak
terkecuali ketentuan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata.
2.
Grosse Akta Pengakuan Utang dan
Sertifikat Hak Tanggungan.
Menurut
Pasal 224 HIR/258 RBg diperkenankan eksekusi terhadap perjanjian untuk memenuhi
isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, asal perjanjian itu berbentuk
grosse akta. Tujuan pemanfaatan grosse akta pengakuan utang dan grosse hipotik
adalah untuk memberikan kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap agar langsung dapat dieksekusi.
Di dalam
Pasal 20 ayat (1) UUHT telah pula disebutkan, bahwa dalam hal debitor cidera
janji, selain kepada pemegang Hak Tanggungan pertama diberikan hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, maka berdasarkan
titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan, obyek Hak
Tanggungan juga dapat dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang
pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor
lainnya. Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya,
menurut Pasal 26 UUHT dan penjelasannya, pelaksanaan eksekusi ini (dengan dasar
penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya) didasarkan
pada Pasal 224 HIR/258 RBg.
Dengan
demikian, berdasarkan grosse akta pengakuan utang atau sertifikat Hak
Tanggungan kreditor cukup mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat agar isi dari grosse akta ataupun sertifikat Hak Tanggungan tersebut
dapat dilaksanakan. Namun dalam praktek pengadilan, Ketua Pengadilan Negeri
masih harus meneliti terlebih dahulu apakah debitor masih berutang kepada
kreditor. Dalam hal ternyata debitor tidak lagi mempunyai utang, maka permohonan
penetapan eksekusi akan ditolak.
- Penjualan
obyek Hak Tanggungan di bawah tangan
Dalam hal
penjualan pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi,
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT diberi kemungkinan untuk melakukan
eksekusi melalui penjualan di bawah tangan. Asalkan hal tersebut disepakati
oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
Pelaksanaan
penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan ini memerlukan upaya kreditor
melalui pendekatan persuasif dengan meminta debitor untuk menjual di bawah
tangan atas obyek jaminan utang dan hasilnya digunakan untuk melunasi utangnya
kepada kreditor. Menurut A. T. Hasbullah selaku Direktur Lelang pada Direktorat
Jenderal Kekayaan negara :
Hal ini dimungkinkan
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT. Namun alternatif ini seringkali
cukup berat untuk dilaksanakan karena harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1.
harus ada kesepakatan antara
pemberi dan pemegang hak tanggungan;
2.
penjualan tersebut harus capat
menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak;
3.
satu bulan sebelumnya terlebih
dahulu harus diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak
tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan harus diumumkan sedikit-dikitnya
dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau
media massa setempat, serta tidak ada yang menyatakan keberatan.[35]
- Putusan yang
bersifat serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)
Putusan
serta merta adalah merupakan suatu proses khusus yang memungkinkan dapat
dilaksanakannya eksekusi sebelum putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap.
Menurut M. Yahya harahap bahwa :
Pasal 180 ayat 1 HIR atau
Pasal 191 ayat 1 RBG memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan permintaan
agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dulu, sekalipun terhadap
putusan itu pihak tergugat mengajukan bending atau kasasi. Terhadap permintaan
gugat yang demikian, hakim dapat menjatuhkan putusan yang memuat amar bahwa
putusan dapat dilaksanakan lebih dulu, yang lazim disebut 'putusan dapat
dieksekusi serta merta'.[36]
Namun
putusan yang bersifat serta merta ini tidaklah diperlukan terhadap perjanjian
kredit yang jaminannya telah dibebani dengan Hak Tanggungan, hal ini disebabkan
karena putusan serta merta ini hanya dapat dilaksanakan setelah adanya gugatan
dari kreditor ke pengadilan negeri. Sedangkan pada Hak Tanggungan tidak
diperlukan adanya suatu gugatan dalam hal pelaksanaan eksekusinya, karena hanya
dengan berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan yang berkekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, pemegang Hak
Tanggungan dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat.
Sedangkan
lembaga yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah kredit macet
perbankan, adalah :
1. Pengadilan Negeri
Berdasarkan
Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 10 Undang-undang No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, badan peradilan merupakan lembaga yang
sah dan berwenang untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai tindak lanjut dari
Pasal 10 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tersebut, ditetapkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang menetapkan batas yurisdiksi untuk setiap badan
peradilan.
Dalam
Pasal 50 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana
dirubah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, disebutkan bahwa
"Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertarna".[37]
Khusus
mengenai permasalahan sengketa perkreditan berdasarkan Undang-undang No. 2
Tahun 1986 yurisdiksinya terrnasuk kewenangan lingkungan badan peradilan umurr.
Sehingga badan peradilan yang secara resmi bertugas menyelesaikan kredit macet
bila disengketakan adalah pengadilan negeri. Namun perlu diingat, bahwa selama
ini pengadilan negeri hanya berwenang untuk menyelesaikan sengketa kredit macet
dari bank swasta.
Penyelesaian
sengketa kredit macet melalui pengadilan negeri dapat dilakukan melalui 2 (dua)
cara :
a.
Bank menggugat nasabah karena
telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kredit yang telah disepakati.
Bank
dapat menggugat debitor yang telah wanprestasi dengan tidak membayar utang
pokok maupun bunga kepada pengadilan negeri. Pengadilan negeri dalam hal ini
akan memproses gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti yang ada dan
dalil-dalil yang diajukan oleh kedua belah. Apabila proses pemeriksaan selesai
dilakukan, maka pengadilan negeri akan mengeluarkan putusan yang dilanjutkan
dengan sita eksekusi atas agunan yang diberikan untuk kepentingan pelunasan
kredit.
b.
Bank meminta penetapan eksekusi
terhadap barang agunan debitor yang telah diikat dengan sempurna
Terhadap
barang agunan debitor yang telah diikat secara sempurna, maka bank dapat
langsung mengajukan permohonan eksekusi barang agunan untuk memperoleh
pelunasan piutangnya, tanpa harus melalui proses gugatan ke pengadilan negeri.
Setelah menerima permohonan, Ketua Pengadilan Negeri akan memeriksa bukti-bukti
yang diajukan, apakah debitor masih berutang kepada kreditor. Jika ternyata
debitor masih berutang, maka permohonan penetapan eksekusi akan dikabulkan.
Dari
uraian di atas, maka penyelesaian kredit macet dengan cara yang kedua adalah penyelesaian
yang sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, karena dalam
rangka eksekusi Hak Tanggungan tidak perlu melalui proses gugatan ke pengadilan
negeri. Kreditor cukup dengan membawa sertifikat Hak Tanggungan yang memuat
irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan
langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.
2. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
Dengan
Undang-undang No 49 Prp Tahun 1960, PUPN bertugas menyelesaikan piutang negara
yang telah diserahkan kepadanya oleh instansi pemerintah atau badan-badan
negara. Pengurusan piutang negara dilakukan PUPN dengan terlebih dahulu
memanggil pihak debitor untuk menyelesaikan kewajibannya. Jika debitor datang
menghadap, maka dijelaskan mengenai tata cara penyelesaian sengketa dengan
membuat Surat Pernyataan Bersama antara PUPN dan debitor tentang besarnya
jumlah utang dan kesanggupan debitor untuk membayarnya. Surat Pernyataan
Bersama tersebut memuat irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa", sehingga mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau mempunyai titel eksekutorial. Dalam
hal debitor tidak bersedia datang menghadap atau tidak bersedia menandatangani
surat pernyataan bersama, maka PUPN menerbitkan Surat Penetapan Jumlah Piutang
Negara secara sepihak.
Selanjutnya
dalam hal surat pernyataan bersama itu tidak dipenuhi oleh debitor atau berdasarkan
Surat Penetapan Jumlah Piutang Negara, PUPN dapat memaksa debitor untuk
membayar seluruh utang dengan mengeluarkan Surat Paksa, yang dilanjutkan dengan
penyitaan dan pelaksanaan lelang eksekusi. Surat Paksa dikeluarkan dalam bentuk
keputusan Ketua PUPN dengan titel eksekutorial, sehingga mempunyai kekuatan
seperti grosse dari putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat
diajukan banding lagi.
B. Proses Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan.
Pengaturan
tentang eksekusi Hak Tanggungan dapat ditemukan landasan hukumnya dalam
ketentuan Pasal 20 UUHT yang menyatakan :
(1)
Apabila debitor cidera janji,
maka berdasarkan :
a.
hak pemegang Hak Tanggungan
pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
atau
b.
titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14
ayat (2).
Obyek Hak Tanggungan dijual
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak
mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.
(2)
Atas kesepakatan pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di
bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak.
(3)
Pelaksanaan penjualan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1
(satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang
Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan
sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan
keberatan.
(4)
Setiap janji untuk melaksanakan
eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.
(5)
Sampai saat pengumuman untuk
lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dihindarkan
dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta
biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.[38]
Berdasarkan
ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT sebagaimana
disebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi atas obyek jaminan Hak
Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu :
1.
parate eksekusi;
2.
titel eksekutorial; dan
3.
penjualan di bawah tangan.
Ketiga
jenis eksekusi Hak Tanggungan tersebut masing-masing memiliki prosedur
pelaksanan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Tentang pengertian parate
eksekusi sebenarnya dapat ditemukan dalam Pasal 6 UUHT yaitu, "hak
pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut". Akan tetapi, seperti telah dikemukakan
sebelumnya, hak tersebut haruslah terlebih dahulu diperjanjikan oleh para pihak
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf e UUHT atau yang sebelum berlakunya UUHT diatur dalam ketentuan Pasal
1178 ayat (2) KUHPerdata.
Dalam
melaksanakan kewenangan/hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 UUHT dan Penjelasannya ada beberapa hal pokok yang perlu
diperhatikan oleh kreditur, yaitu :
a.
Klausula ini harus tegas
diperjanjikan dan harus didaftarkan
Pada
prinsipnya, seorang kreditor/pemegang Hak Tanggungan bebas untuk memperjanjikan
klausula ini atau tidak. Namun, seperti yang telah dikemukan sebelumnya, hak
dari pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan penjualan obyek Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri tersebut tidaklah dengan sendirinya ada, melainkan harus
diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan atas hak atas tanah. Oleh karena itu janji sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e yang telah tercetak dalam blanko formulir Akta
Pemberian Hak Tanggungan haruslah tetap dipertahankan/diperjanjikan oleh para
pihak. Selanjutnya Akta Pemberian Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan pada
Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, dimana dalam proses pendaftaran
ini PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian hak Tanggungan yang bersangkutan dan
warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
b. Debitor harus cidera janji (wanprestasi).
Kreditor/pemegang
Hak Tanggungan pada dasarnya tidak membutuhkan eksekusi selama debitor memenuhi
kewajiban perikatannya dengan baik. Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT
untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut hanya
ditujukan kepada debitor yang cidera janji (wanprestasi) saja.
Apabila
debitor tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan, maka dikatakan bahwa ia
melakukan wanprestasi. la dikatakan alpa, lalai atau cidera janji, atau juga
melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang
tidak boleh dilakukannya atau bertentangan dengan apa yang telah diperjanjikannya
semula.
Cidera
janji atau yang disebut dalam bahasa Belanda "wanprestatie" artinya
adalah prestasi yang buruk. Atau dengan kata lain "tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul
karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang".[39] Menurut M. Yahya Harahap
adapaun pengertian yang umum tentang wanprestasi adalah :
Pelaksanaan kewajiban yang
tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu
seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apa bila dia
dalam melakukan pelaksanan prestasi perjanjian telah lalai sehingga ‘terlambat’
dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak
menurut 'sepatutnya/selayaknya'.[40]
Dalam hal
terjadinya cidera janji (wanprestasi) dalam perjanjian kredit bank, pada
dasarnya tidak jauh berbeda dengan wanprestasi yang terjadi pada jenis
perjanjian lain. Hanya saja pada perjanjian kredit bank, wanprestasi pada
umumnya terjadi karena disebabkan pelunasan kembali kredit yang diberikan tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dalam
membicarakan wanprestasi kita tidak bisa terlepas dari masalah "pernyataan
lalai" dan "kelalaian". Tentang hal ini oleh Pasal 1238
KUHPerdata telah memberikan petunjuk dengan menyatakan "Si berutang adalah
lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu
telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini
menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan".[41] Adapun yang dimaksud
dengan surat perintah dalam Pasal 1238 KUHPerdata tersebut adalah peringatan
resmi oleh seorang juru sita pengadilan, sedangkan yang dimaksud dengan akta
sejenis adalah suatu tulisan biasa yang tujuannya sama, yakni untuk memberikan
peringatan kepada debitor agar memenuhi prestasi dalam seketika.
Dengan
demikian, dalam hal debitor cidera janji (wanprestasi) seperti tersebut di
atas, undang-undang sebenarnya mewajibkan kreditor/pemegang Hak Tanggungan
untuk memberikan pernyataan lalai kepada debitor. Akan tetapi kewajiban untuk
memberikan pernyataan lalai itu dapat ditiadakan dengan jalan mengadakan
ketentuan dalam perjanjian yang menyatakan bahwa wanprestasi tersebut cukup
dibuktikan dengan lewatnya waktu yang telah diperjanjikan, seperti waktu
pembayaran/ pelunasan kredit.
Dalam
prakteknya, menurut J. Satrio :
Kreditur-pemegang-hipotik
pada umumnya memperjanjikan dalam perjanjian kreditnya, bahwa `dengan lewatnya
waktu (tanggal tertentu) yang telah disepakati bersama untuk pengembalian
kredit saja, sudah merupakan bukti yang nyata akan kelalaian debitur, sehingga
tak diperlukan adanya somasi, dan dengan sendirinya kredit yang bersangkutan
menjadi matang untuk ditagih.[42]
Jadi pada
prinsipnya, dengan berpatokan pada tanggal yang ditetapkan sebagai batas akhir
pengembalian kredit saja sudah bisa dijadikan pedoman untuk menentukan apakah
debitur sudah cidera janji (wanprestasi) atau belum.
c.
Merupakan hak pemegang Hak
Tanggungan pertama.
Undang-undang
menetapkan bahwa kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri tersebut
adalah merupakan hak pemegang Hak Tanggungan pertama saja. Hal ini dimaksudkan
adalah untuk menjaga agar tidak timbul kesulitan disebabkan adanya sengketa
diantara sesama pemegang Hak Tanggungan dalam hal terdapat lebih dari satu
pemegang Hak Tanggungan.
Meskipun
dalam pasal 11 ayat (2) huruf e ditetapkan bahwa yang dapat memperjanjikan
klausula seperti itu hanya pemegang Hak Tanggungan pertama saja, narnun dalam
prakteknya semua pemegang Hak Tanggungan memperjanjikan klausula seperti itu,
karena disamping sudah tercetak dalam blanko formulir Akta Pembebanan Hak
Tanggungan, undang-undang sendiri tidak melarang pemegang Hak Tanggungan lain
memperjanjikan kewenangan seperti itu, apalagi ada kemungkinan terjadi
pergeseran kedudukan, dimana Hak Tanggungan pertama oleh karena pelunasan akan
menjadi hapus dan pemegang Hak Tanggungan berikutnya atau di bawahnya akan
bergeser ke atas menjadi yang pertama.
d.
Pelaksanaan penjualan obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri harus melalui pelelangan umum.
Syarat
penjualan "melalui pelelangan umum" adalah merupakan salah satu wujud
adanya jaminan, bahwa pelaksanaan hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu
tidak akan menelantarkan kepentingan yang lain, dalam hal ini baik kepentingan
debitor/pemberi Hak Tanggungan maupun pihak ketiga sesama kreditor/pemegang Hak
Tanggungan. Dasar pemikiran bahwa harus melalui penjualan dimuka umum atau
melaui lelang, menurut Herowati Poesoko adalah :
dengan penjualan obyek
jaminan melalui suatu penjualan lelang secara umum dimaksudkan dapat diharapkan
akan diperoleh harga yang wajar atau harga yang lebih tinggi, karena dalam
suatu lelang tawaran yang rendah dapat diharapkan akan memancing peserta lelang
lain untuk mencoba mendapatkan benda lelang dengan menambah tawaran. lni
merupakan salah satu wujud bagi perlindungan hukum kepada pemberi jaminan
(debitor).[43]
Menurut
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 40/PMK 07/2006
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang jo. Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu)
No. 150/PMK.06/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan
(Permenkeu) No. 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, bahwa
lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga
secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk
mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang, sedangkan
pada Pasal 2 ditegaskan bahwa setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh
dan/atau dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.
Adapun
yang dimaksud dengan Pejabat Lelang adalah orang yang khusus diberi wewenang
oleh Menteri Keuangan melaksanakan penjualan barang secara lelang, yang terdiri
dari Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL) dan berwenang melaksanakan lelang untuk semua jenis
lelang, serta Pejabat Lelang Kelas II yang berkedudukan di Kantor Pejabat
Lelang Kelas II dan hanya berwenang melaksanakan lelang berdasarkan permintaan
Balai Lelang atas jenis lelang Non Eksekusi Sukarela, lelang aset BUMN/D
berbentuk Persero dan lelang aset milik Bank dalam likuidasi berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999.
Menurut
ketentuan Pasal 1 angka 4 Permenkeu No. 40/PMK. 07/2006 jo. Permenkeu No.
150/PMK.06/2007 tersebut di atas, bahwa lelang berdasarkan ketentuan Pasal 6
UUHT adalah termasuk jenis Lelang Eksekusi, yaitu lelang untuk melaksanakan
putusan/penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku dipersamakan dengan itu, dalam
rangka membantu penegakan hukum. Dalam pasal ini disebutkan pula bahwa yang
termasuk dalam lelang eksekusi ini adalah : Lelang Eksekusi Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak,
Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak
Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, Lelang
Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 KUHAP, Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang
Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fiducia dan Lelang Eksekusi Gadai.
Kreditor/pemegang
Hak Tanggungan pertama yang bermaksud melakukan penjualan secara lelang
berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT, langsung mengajukan surat permohonan lelang
secara tertulis kepada Kepala KPKNL disertai dengan dokumen persyaratan lelang
tanpa memerlukan lagi persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan. Dalam hal ini
KPKNL tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan kepadanya sepanjang
dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas subyek
dan obyek lelang.
Kreditor
sebagai penjual/pemilik barang dapat mengajukan syaratsyarat lelang tambahan
yang dilampirkan dalam surat permohonan lelang sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain :
a.
jadwal penjelasan lelang kepada
peserta lelang sebelum pelaksanaan lelang (aanwidjzing);
b.
jangka waktu bagi calon pembeli
untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang akan dilelang;
c.
jangka waktu pembayaran harga
lelang;
d.
jangka waktu
pengambilan/penyerahan barang oleh pembeli
Tempat
pelaksanaan lelang harus di wilayah kerja KPKNL tempat obyek Hak Tanggungan
berada. Pengecualian terhadap ketentuan itu hanya dapat dilaksanakan setelah
mendapat persetujuan dari :
a.
Direktur Jenderal pada
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) atas nama Menteri untuk barang yang
berada di luar wilayah Republik Indonesia;
b.
Direktur Jenderal atau Pejabat
yang ditunjuk untuk barang yang berada dalam wilayah antar Kantor Wilayah DJKN;
atau
c.
Kepala Kantor Wilayah DJKN
setempat untuk barang yang berada dalam wilayah Kantor Wilayah DJKN setempat.
Surat
persetujuan sebagairnana dimaksud di atas dilampirkan pada surat permohonan
lelang dan KPKNL dapat mensyaratkan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
menggunakan tempat dan fasilitas lelang yang disediakan oleh DJKN, sedangkan
waktu pelaksanaan lelang dilakukan pada jam dan hari kerja KPKNL.
Penjualan
secara lelang wajib didahului dengan Pengumuman Lelang yang dilakukan oleh penjual/pemegang
Hak Tanggungan melalui surat kabar harian di tempat obyek Hak Tanggungan berada
atau ditempat yang terdekat atau di ibukota propinsi yang bersangkutan dan
beredar di wilayah kerja KPKNL tempat obyek Hak Tanggungan akan dijual sesuai
dengan tiras/oplah yang ditentukan dalam Permenkeu ini, dan harus dicantumkan
dalam halaman utama/reguler dan dilarang dicantumkan pada halaman
suplemen/tambahan/khusus. Dalam hal dipandang perlu, penjual/pemegang Hak
Tanggungan dapat menambah pengumuman lelang dengan menggunakan media lainnya
guna mendapatkan peminat yang seluas-luasnya. Pengumuman lelang ini dilakukan
sebanyak dua kali dengan tenggang waktu berselang 15 (lima belas) hari.
Pengumuman yang pertama diperkenankan melalui tempelan yang mudah dibaca oleh
umum, dan dapat ditambah melalui media elektronik, namun demikian jika
dikehendaki pengumuman pertama dapat dilakukan dengan surat kabar harian,
sedangkan pengumuman kedua harus melalui surat kabar harian dan dilakukan
berselang 14 (empat betas) hari sebelum hari pelaksanaan lelang.
Pengumuman
lelang atas obyek Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1)
Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 jo. Permenkeu No. 150/PMK.06/2007 tersebut di atas
paling sedikit memuat :
a.
identitas penjual;
b.
hari, tanggal, waktu dan tempat
pelaksanaan lelang;
c.
jenis dan jumlah barang;
d.
lokasi, luas tanah, jenis hak
atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan;
e.
jangka waktu melihat obyek yang
akan dilelang;
f.
uang jaminan penawaran lelang
meliputi besaran, jangka waktu, cara dan tempat penyetoran;
g.
jangka waktu pembayaran harga
lelang;
h.
harga limit (reserve price).
Pengumuman
Lelang Ulang dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian berselang 7
(tujuh) hari sebelum pelaksanaan lelang, jika waktu pelaksanaan lelang ulang
dimaksud tidak melebihi 60 (enam puluh) hari dari pelaksanaan lelang terdahulu,
dan jika waktu pelaksanaan lelang ulang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh)
hari dari pelaksanaan lelang terdahulu, maka berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) Permenkeu sebagaimana telah disebut di atas.
Dalam
pelaksanaan lelang, lelang pertama harus diikuti oleh paling sedikit 2 (dua)
peserta lelang, sedangkan lelang ulang dapat dilaksanakan dengan diikuti oleh 1
(satu) orang peserta lelang. Pada setiap pelaksanaan lelang, penjual wajib
menetapkan harga limit berdasarkan pendekatan penilaian yang dapat
dipertanggungjawabkan, serendah-rendahnya ditetapkan sama dengan nilai
likuidasi (forced sale value) dan bersifat terbuka/tidak rahasia dan
harus dicantumkan dalam pengumuman lelang. Sedangkan bagi peserta lelang agar
dapat menjadi peserta lelang diharuskan pula menyetor uang jaminan penawaran
lelang kepada KPKNL yang besarnya paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dan
paling banyak 50 % (lima puluh persen) dari perkiraan harga limit.
Penawaran
lelang dilakukan secara langsung, dimana semua peserta lelang yang sah atau
kuasanya (dengan akta notaris) pada saat mengajukan penawaran harus hadir di
tempat pelaksanaan lelang yang dapat dilakukan dengan cara :
a.
lisan, semakin meningkat atau
menurun;
b.
tertulis;
c.
atau tertulis dilanjutkan
dengan lisan, dalam hal penawaran tertinggi belum mencapai harga limit.
Pejabat
lelang dapat mensahkan penawar tertinggi sebagai pembeli apabila penawaran yang
diajukan telah mencapai atau melampaui harga limit. Dalam hal ini Pejabat
Lelang, Kreditor/Penjual, Pemandu Lelang, Pengacara/Advokat, Notaris, PPAT,
Pegawai KPKNL dan Debitor yang terkait langsung dengan proses lelang dilarang
menjadi pembeli lelang. Akan tetapi sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundangundangan dibidang perbankan dan pertanahan, Bank sebagai
kreditor dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan menyampaikan
Surat Pernyataan bahwa pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan
ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, dan dalam hal jangka waktu
tersebut telah terlampaui, bank dianggap sebagai pembeli.
e.
Pelunasan piutang diambil dari
hasil penjualan lelang
Pembeli
lelang sesuai dengan Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 jo. Permenkeu No. 150/
PMK.06/2007 harus sudah melakukan pembayaran harga lelang secara tunai/cash
atau cek/giro dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan
lelang kepada Bendaharawan Penerima KPKNL dan untuk pembayaran ini oleh KPKNL
wajib dibuatkan kwitansi atau tanda bukti pembayaran harga lelang dan
diserahkan kepada pembeli lelang. Selanjutnya penyetoran hasil bersih lelang
kepada kreditor/penjual dilakukan oleh KPKNL paling lambat 3 (tiga) hari kerja
setelah pembayaran diterima oleh Bendahara Penerima KPKNL, sedangkan Bea Lelang
dan Pajak Penghasilan (PPh) disetorkan ke Kas Negara oleh Bendaharawan Penerima
KPKNL dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah pembayaran diterima.
Berdasarkan
Penjelasan Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) UUHT dapat dipahami bahwa
kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama berhak mengambil pelunasan piutang
yang dijamin dari hasil penjualan lelang obyek Hak Tanggungan lebih dahulu
daripada kreditor-kreditor yang lain. Dalam hal hasil penjualan lelang lebih
besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai
tanggungan, sisanya adalah menjadi hak dan harus diserahkan kepada pemberi Hak
Tanggungan. Bahkan dalam ketentuan Pasal 21 UUHT disebutkan "Apabila
pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap
berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan
undang-undang ini".[44] Ketentuan ini dimaksudkan
untuk lebih memantapkan kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan dengan
mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak Tanggungan terhadap
obyek Hak Tanggungan.
Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya, bahwa disamping parate eksekusi masih ada 2 (dua)
cara lagi yang dapat ditempuh oleh kreditor/pemegang Hak tanggungan untuk
mengambil pelunasan piutangnya dalam hal debitor/pemberi Hak Tanggungan cidera
janji, yaitu eksekusi melalui titel eksekutorial dan penjualan di bawah tangan.
Untuk
eksekusi yang menggunakan titel eksekutorial yang terdapat dalam setifikat Hak
Tanggungan (sebelumnya menggunakan grosse akta hipotik) pelaksanaan penjualan
benda jaminan atau obyek Hak Tanggungan tersebut "tunduk dan patuh pada
Hukum Acara Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR/258 RBg,
yang prosedur pelaksanaannya memerlukan waktu yang lama".[45] karena memerlukan fiat
eksekusi dan Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan penjualan di bawah tangan,
pelaksanaannya harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain adanya
kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, adanya syarat bagi
pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan untuk memberitahukan secara tertulis
kepada pihak yang berkepentingan (pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan
kreditor lainnya dari pemberi Hak Tanggungan) setidak-tidaknya 1 (satu) bulan
sebelum pelaksanaan penjualan dilakukan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2
(dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau
media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
C. Pelaksanaan Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Dalam Praktek
Seperti
telah diuraikan sebelumnya, pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan didasarkan pada
hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atau
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan,
yang pelaksanaannya dilakukan dengan penjualan obyek Hak Tanggungan melalui
pelelangan umum untuk pelunasan hutang debitor.
Dalam
penjelasan Pasal 20 ayat (1) UUHT, antara lain disebutkan :
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus
dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan
dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan. Kreditor
berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek Hak
Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut
yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi
Hak Tanggungan.[46]
Dari
ketentuan di atas, diperoleh ketegasan bahwa setiap eksekusi harus dilakukan
dengan cara penjualan obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum, yang
hasilnya digunakan untuk pelunasan utang debitor. Utang yang harus dibayar dari
hasil lelang obyek Hak Tanggungan maksimal adalah sebesar nilai tanggungan yang
disebut dalam sertifikat Hak Tanggungan.
Dalam
proses eksekusi Hak Tanggungan pada bank yang terjadi selama ini dalam praktek
apabila debitor ingkar janji dan jalan damai tidak berhasil ditempuh, maka
kreditor tidak perlu melalui proses gugatan di pengadilan. Akan tetapi kreditor
cukup membawa sertifikat Hak Tanggungan yang memakai irah-irah "Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ke pengadilan negeri dan
langsung mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan
Negeri di wilayah mana obyek Hak Tanggungan itu berada.
Setelah
menerima permohonan itu, Ketua Pengadilan Negeri akan memeriksa bukti yang
diajukan. Apabila Ketua Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan itu, maka
Ketua Pengadilan Negeri akan menindaklanjuti dengan menerbitkan surat tegoran
(aanmaning) agar debibur dalam waktu 8 (delapan) hari sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 196 HIR/207 RBg segera memenuhi kewajibannya untuk membayar
utangnya secara sukarela. Apabila debitor tetap lalai untuk memenuhi
kewajibannya sesuai jadwal yang ditentukan, atas perintah/penetapan Ketua
Pengadilan Negeri akan dilakukan sita eksekusi terhadap tanah yang menjadi
obyek Hak Tanggungan yang diikuti pula dengan dikeluarkannya Penetapan Lelang.
Selanjutnya Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri akan mengajukan permohonan
lelang kepada KPKNL untuk dijadwalkan lelangnya. Dalam hal ini yang bertindak
sebagai penjual/pemohon lelang adalah pihak Panitera/Sekretaris Pengadilan
Negeri, sementara pihak kreditor sebagai pihak pemohon eksekusi menunggu hasil
pelaksanaan eksekusi (lelang) yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
Uang dari
hasil lelang akan dipergunakan untuk membayar utang debitor, setelah dibayarkan
terlebih dahulu biaya-biaya yang diperlukan seperti bea lelang, dan apabila ada
kelebihannya, maka sisa uang tersebut akan dikembalikan kepada pemberi Hak
Tanggungan (debitor).
Jadi pada
prinsipnya proses eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh bank selama ini
adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana juga dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang
pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg, dan bukan atau belum
dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT.
Eksekusi
berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT (parate eksekusi) tidak atau belum dapat
terlaksana sebagaimana mestinya karena dalam prakteknya pejabat/juru lelang
menolak untuk melaksanakan penjualan di muka umum atas obyek Hak Tanggungan
sebelum ada persetujuan atau fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal
ini berhubungan erat dengan adanya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 3210 K/Pdt/1084 tanggal 30 Januari 1986 yang telah membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Bandung dan menyatakan penjualan lelang berdasarkan parate
eksekusi yang telah dilakukan tanpa melalui Ketua Pengadilan adalah perbuatan
melawan hukum dan lelang yang bersangkutan adalah batal.
Keadaan
inilah menurut penulis yang mengakibatkan kreditor/ pemegang Hak tanggungan
maupun pejabat/juru lelang tidak mempunyai kemauan dan keberanian untuk
memanfaatkan klausula parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT.
Dengan
diundangkan dan diberlakukannya UUHT pada tanggal 9 April 1996, tentunya akan
membawa harapan baru bagi pelaku ekonomi dan dunia perbankan, sebab kemudahan
dan kepastian hukum terhadap eksekusi Hak Tanggungan khususnya parate eksekusi
akan dapat direalisasikan secara nyata.
Dalam
ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT tersebut telah
diatur adanya 3 (tiga) cara eksekusi yang dapat ditempuh oleh kreditor/pemegang
Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan bilamana debitor/pemberi Hak
Tanggungan cidera janji (wanprestasi), yaitu :
- Eksekusi
berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang ini (Parate
Eksekusi), atau
- Eksekusi
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) undang-undang ini,
dan
- Eksekusi
melalui penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan atas
kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
Dengan
ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT tersebut, pembentuk
undang-undang telah memberikan perbedaan secara tegas antara "parate
eksekusi" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan "eksekusi
berdasarkan titel eksekutorial" yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan (pengganti grosse akta hipotik). Demikian juga dengan Permenkeu No.
40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang jo. Permenkeu
No.150/PMK.06/2007 Tentang Perubahan Atas Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang, telah memasukkan lelang eksekusi Pasal 6 UUHT
sebagai salah satu jenis lelang yang masuk dalam pengertian lelang eksekusi
disamping jenis lelang eksekusi lainnya (Pasal 1 angka 4). Oleh karena itu
tidak ada alasan lagi bagi Kantor Lelang Negara/KPKNL untuk menolak pelaksanaan
parate eksekusi yang diajukan oleh kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama
karena adanya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan tidak sah lelang umum yang
dilakukan tanpa adanya fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hal
tersebut telah diatur secara tegas oleh Undang-undang.
Adalah
suatu hal yang sulit dimengerti, jika saat ini, setelah diberlakukannya UUHT
atau bahkan sebelumnya, karena "janji untuk menjual atas kekuasaan
sendiri" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata, yang
pada prinsipnya berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
(Pasal 1338 KUHPerdata), Ternyata masih banyak pihak yang ragu untuk
melaksanakan parate eksekusi yang telah diatur secara tegas di dalamnya dengan
alasan adanya putusan Mahkamah Agung (yurisprudensi) yang tidak sejalan
dengannya. Perlu kiranya untuk dipahami, bahwa walaupun undang-undang dan
yurisprudensi adalah sama-sama merupakan sumber hukum atau sebagai tempat kita
mencari dan menemukan hukum, tapi undang-undang adalah merupakan produk
legislatif yang bersifat umum, sehingga setiap orang harus mengakui
eksistensinya sebagai undang-undang yang aturan-aturannya berlaku dan mengikat
setiap orang. Sedangkan yurisprudensi atau putusan pengadilan yang merupakan
produk yudikatif, berisi kaedah atau peraturan hukum, yang hanya mengikat
pihak-pihak yang bersangkutan atau orang-orang tertentu saja, dan tidak
mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang. Bahkan seorang hakim,
sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak perlu mengikuti
putusan-putusan terdahulu mengenai perkara sejenis, atau dengan kata lain,
hakim tidak terikat pada precedent atau putusan hakim terdahulu mengenai
perkara atau persoalan hukum yang serupa dengan perkara yang akan
diputuskannya.
Pendapat
ini telah pula bersesuaian dengan pendapat Sudikno Mertokusumo yang menyatakan
:
Dalam sistem kontinental, termasuk
sistem peradilan di Indonesia, seperti yang telah disinggung di muka, hakim
tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara
yang serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan tersebut di atas dalam sistem
Kontinental ini hakim diikat oleh undang-undang. Disini hakim berpikir deduktif
dari undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus. Dalam sistem
Anglo-saks hakim terikat pada 'precedent' atau putusan mengenai perkara yang
serupa dengan yang akan diputus, Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan
pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan pada suatu peristiwa. Disini hakim
berpikir induktif.[47]
Kalau
terjadi konflik norma hukum yang terdapat pertentangan norma dari
undang-undang, bila dikonstruksikan prosedur pelaksanaan parate eksekusi adalah
melalui pelelengan umum, prosedur tersebut merupakan eksekusi yang menyimpang
dari prinsip eksekusi menurut Hukum Acara Perdata, pada Penjelasan Umum Angka 9
jo. Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3), yang intinya pelaksanaan parate
ekskusi berdasarkan pada Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg.
Dalam
ilmu hukum kalau terjadi konflik norma dikenal apa yang disebut dengan azas
preferensi, yaitu suatu azas pengutamaan atau azas mengalahkan. Ada beberapa
azas-azas penyelesaian konflik[48], adalah :
a.
Azas lex posterior (lex
posterior derogate legi priori): undang-undang yang kemudian mengalahkah
yang terdahulu.
b.
Azas lex specialis (lex
specialis deroga legi general): undang-undang khusus mengalahkan yang umum.
c.
Azas lex superior (lex
superior deroga legi inferiors): undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan
yang lebih rendah.
Dari
ketiga azas tersebut yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik norma adalah
lex specialis deroga legi general (undang-undang khusus mengalahkan yang
umum). Azas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan yang secara
hirarkis mempunyai kedudukan yang sama. Akan tetapi ruang lingkup materi muatan
antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu
merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. Berarti prosedur untuk
pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate
eksekusi) sebagai hak dari kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, tanpa
melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.
Tentang
adanya ketentuan di dalam Buku II Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan yang mengharuskan eksekusi hipotik dilaksanakan seperti
eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau dengan kata lain
harus mendapat izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini
harus kita pahami bahwa petunjuk ini hanya berlaku terhadap eksekusi hipotik
yang cukup kental dipengaruhi oleh adanya putusan MARI No. 3210 K/Pdt/1984
tanggal 30 Januari 1986, akan tetapi tidak demikian halnya terhadap eksekusi
Hak Tanggungan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT, karena
Undang-undang tersebut telah dengan tegas memberikan kewenangan untuk menjual
atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) kepada kreditur/pemegang Hak
Tanggungan pertama.
Dalam
Edisi Revisi Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. KMA/007/SK/IV/1994 tanggal 1 April 1994, telah
ditegaskan bahwa "Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang,
juga berdasarkan pasal 1178 BW (kecuali penjualan lelang ini dilaksanakan
berdasarkan pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan) selalu baru dapat
dilaksanakan setelah ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri".[49] Dengan demikian, jelas
bisa dipahami bahwa sejak diberlakukan dan diundangkannya UUHT, Mahkamah Agung
sendiri cenderung mengakui akan eksistensi parate eksekusi sebagaimana diatur
di dalam Pasal 6 UUHT.
Selanjutnya
terhadap adanya keraguan sebagian kalangan terutama pihak pembeli lelang, bahwa
pengadilan negeri akan menolak mengeluarkan perintah pengosongan dalam hal
obyek Hak Tanggungan yang telah dilelang itu tidak dengan suka rela diserahkan
dengan alasan karena lelang tersebut tidak dilakukan melalui pengadilan negeri,
keraguan tersebut saat ini tidaklah cukup beralasan.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengaturan parate eksekusi
(pasal 6 UUHT) tidak konsisten dengan prinsip hukum jaminan, sebab terdapat
kerancuan pengaturan mengenai perolehan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama,
karena di satu sisi hak itu lahir karena Undang-undang di sisi lain hak
tersebut terlahir secara diperjanjikan, sehingga pengertian parate eksekusi
menimbulkan makna ganda / kabur. Maka satu sisi parate eksekusi berdasarkan
Pasal 16 UUHT yaitu melalui pelelangan umum dan di sisi lain melalui titel
eksekutorial sehingga melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.
2.
Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak
Tanggungan yang dilakukan oleh pemegang hak tanggungan dalam prakteknya selama
ini adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang pelaksanaannya
didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg, dan masih sedikit dilaksanakan sesuai
ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT.
B.
Saran
1.
Agar terwujudnya prinsip
perlindungan hukum bagi kreditor manakala debitor wanprestasi, maka diharapkan
menggunakan eksekusi berdasarkan parate eksekusi sesuai yang dimaksudkan dalam
pasal 6 UUHT. Agar tujuan untuk mempercepat pelunasan piutang kreditor, dalam pengembalian
dana pinjaman tersebut.
- Hendaknya
parate eksekusi obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan sesuai dengan
pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, sehingga tidak melaui fiat
Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan Titel Eksekurotial, tetapi langsung
melalui pelelangan umum oleh Balai Lelang Negara.
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
Badrulzaman,
Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
________,
Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Fuady,
Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Hadjon
Philipus M. dan Tatiek Sri Djalmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Yogyakarya, 2005.
Harahap,
Yahya M, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Zahir Trading Co,
Medan, 1977.
________,
Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982.
________,
Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta,
1991.
________,
Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan Dan
Arbitrase Dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Harsono,
Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996.
Hermansyah,
Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007.
Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Panting Serta
Hubungan Keentuan Hukum Acara Perdata, Jakarta, 1992.
________,
Pustaka Peradilan Jilid 1, Jakarta, 1994.
________,
Pedoman Pelaksanaan Tugas can Administrasi Pengadilan Buku II, Edisi
Revisi, Proyek Pembinaan 1 eknis Yustisial Mahkamah Agung RI, 1997.
Marzuki,
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.
Mertokusumo,
Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005.
Muljadi,
Kartini dan Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
________,
Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2006.
Panggabean,
H.P, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian Kredit Perbankan
(Berikur Tanggapan), Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Poesoko,
Herowati, Parate Eksekusi Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan
Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2007.
Rahardjo,
Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Satrio,
J, Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993.
________,
Parate Eksekusi Sebagai Sarala Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1993.
________,
Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti Bandung,
1996.
Sjandeini
ST. Remy, Hak Tanggungan, asas-asas, ketentuan-ketentuan pokok dan masalah
yang dihadapi oleh perbankan (Suatu Kajian mengenai Undang-Undang Hak
Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999.
Sofwan,
Sri Soedewi Masychun, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1981.
Subekti,
Jaminan Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni,
1982.
________,
dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-uodang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1992.
Suharnoko,
Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004.
Suparman,
Eman, Kitab Undang-undang Per3dilan Umum, Fokusmedia, Bandung, 2004.
B.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
Reglemen
Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene lndonesisch Reglement).
Reglemen
Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van
het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura)
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fiducia.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomcr 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara / Daerah.
Peraturan
Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan nasional Nomor 3 Tahun1996
Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak
Tanggungan, Buku-Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.
Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996
Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan,
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 118/MK.07/2005 Tentang Balai Lelang.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07,2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 47/KMK.01/1996 Tentang Balai Lelang.
C.
MAKALAH / MAJALAH
Bank
Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1998, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Jakarta, 2007.
Hasbullah,
A. T, Peran Lelang Dalam mendukung Penyelesaian Kredit Macet Perbankan,
Makalah Seminar, BaIai Lelang Tunjungan, Surabaya, 2008.
Muchsin,
H, Mediasi di Pengadilan dan lmplikasi Hukum Lelang Eksekusi, Makalah
Seminar, Balai Lelang Tunjungan, Surabaya, 2008.
[1] M. Isnaeni. Hipotik Pesawat
Udara di Indonesia. Dharma Muda. Surabaya. 1996
[2] M. Isnaeni. Dalam Herowati Poesoko. Parate Excecutie Obyek Hak Tanggungan. LaksBang PRESSindo. Yogyakarta.
2008. Hal 16
[3]
Sutan Remy Sjahdeini. Beberapa
Permasalahan Hukum Hak Jaminan. Majalah Hukum Nasional No. 2 Tahun 2000.
Hal 19-20
[4] Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-asas, Ketentuan-ketentuan
Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai
Undang-undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal 17
[5] Ibid, hal 39
[6] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pustaka Peradilan Jilid XIV,
Jakarta, 1996, hal 5-6
[7] Ibid, hal 7
[8] Remu Sjahdeini, Op. cit., hal 43
[9] Bank Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 10 tahun 1998, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Jakarta,
2007, hal 9
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,
hal 94-95
[13] Ibid., hal 141.
[14] Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda – Indonesia – Ingirs,
Aneka, Semarang, 1977, hal. 655
[15] Pitlo, 1949, Dalam Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Obyek
Tanggungan, LaksBang, 2008, hal. 242
[16]
Herowati Poesoko, op.cit., hal. 248
[17] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 7 - 8
[18] Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
[19] Remy Sjahdeini, op. cit., hal 45
[20] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 81-83
[21] J. Satrio, Parete Eksekusi Sebagai sarana Mengatasi Kredit Macet,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal 22
[22] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 5
[23] Ibid, hal 13
[24] Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT),
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hal 283
[25] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 33
[26] Ibid, hal 37
[27] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan,
Kencana, Jakarta, 2006
[28] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 26-27
[29] Ibid, hal 39
[30] Ibid, hal 16
[31] Ibid, hal 47-48
[32] Herowati Poesoko, op. cit., hal 264
[33] Remy Sjahdeni, op. cit., hal 55
[34] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 5
[35] A.T. Hasbullah, “Peran Lelang Dalam Mendukung Penyelesaian
Kredit Macet Perbankan”, Makalah Seminar, Balai Lelang Tunjungan, Surabaya,
2008, hal 7
[36] Yahya Harahap, op. cit., hal 7
[37] Eman Suparman, Kitab Undang-undang Peradilan Umum,
Fokusmedia, Bandung, 2004, hal 55
[38] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 13
[39] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982,
hal 20
[40] M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni,
Bandung, 1982, hal 60
[41] Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., hal 269
[42] J. Satrio, op. cit. hal 24
[43] Herowati Poesoko, op. cit. hal 239
[44] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 45
[45] Herowati Poesoko, op. cit., hal 5
[46] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit. hal 44
[47] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, 2005, hal 115
[48] Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal 31, dikutip dari P.W.
Brouwer, et. Al., Coherence and Conflict in Law, W.E.J. Tjeenk Willink, Kluwer,
Zwolle, hal. 217-223
[49] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrfasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Proyek Pembinaan Teknis
Yustisial Mahakmah Agung RI, 1997, hal 136