Jumat, 31 Mei 2013

Jurnal Hukum


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Dan Rumusan Masalah
Dengan meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga dibutuhkan pula kehadiran lembaga jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Dalam penyediaan dana yang dibutuhkan untuk perkembangan ekonomi dan pembangunan oleh masyarakat banyak, dilakukan oleh bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sehingga untuk mencegah terjadinya kerugian karena tidak kembalinya seluruh atau sebagian dari kredit yang telah disalurkan, bank perlu memberi perhatian khusus terhadap masalah tersebut.
Mengingat pentingnya kedudukan kredit dalam proses pembangunan, maka sudah seharusnya kepentingan bank sebagai pemberi kredit, yakni agar kredit yang disalurkan dibayar kembali, dapat dilindungi melalui suatu lembaga jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan, yaitu suatu lembaga jaminan yang dikontruksikan dapat menjamin dan memberikan kemudahan pelunasan suatu tagihan dalam hal debitor tidak membayar utang-utangnya.
Sebenarnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah memberikan pengaman kepada kreditor dalam menyalurkan kredit kepada debitor, yakni dengan memberikan jaminan umum menurut pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata yang menentukan bahwa semua harta kekayaan kebendaan debitor baik bergerak atau tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang baru akan ada, menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan kreditor. Apabila terjadi wanprestasi, maka seluruh harta benda debitor akan dijual lelang dan dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor. Namun oleh karena perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan masih belum memberikan rasa aman kepada kreditor, sehingga dalam praktek penyaluran kredit, bank merasa perlu untuk meminta jaminan khusus terutama yang bersifat kebendaan. Karenanya kehadiran Undang-undang Hak Tanggungan sebagai pengganti lembaga hipotik dan credietverband sangat banyak manfaatnya.
Selama ini lembaga hukum yang dapat dipergunakan dan berfungsi untuk menyelesaikan masalah kredit macet, adalah :
  1. Pengadilan Negeri, apabila kredit macet yang terjadi merupakan tagihan-tagihan dari bank swasta.
  2. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL), berfungsi untuk menyelesaikan masalah kredit macet yang merupakan tagihan-tagihan dari bank pemerintah.

Pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri selama ini hanya terhadap tagihan bank, yang oleh pihak kreditor sebelumnya telah mengajukan permohonan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana hak tanggungan itu berada. Setelah debitor yang ingkar janji dipanggil dan diberi tenggang waktu untuk membayar hutangnya dengan sukarela, namun tetap lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan disita dengan sita eksekutorial. Jika setelah disita debitor tetap lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan tersebut akan dilelang secara umum.
Proses pelaksanaan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pihak kreditor, sebenarnya tidaklah sulit. Karena disamping sertifikat Hak Tanggungan berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dimana pada sertifikat tersebut dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'', yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pemegang Hak Tanggungan pertama juga mempunyai hak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap obyek Hak Tanggungan yang dijadikan sebagai jaminan kredit, apabila debitor ingkar janji. Hal mana didasarkan pada kuasa yang diberikan oleh debitor maupun oleh undang-undang kepada pihak kreditor.
Berdasarkan pasal 6 UUHT jika debitur cedera janji (wanpretasi) pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kuasa sendiri melalui pelelangan umum dan pelunasan piutang diambil dari hasil lelang. Inilah yang disebut parate eksekusi.
Kemudian merujuk rumusan pasal 6 UUHT proses eksekusi dapat dilakukan tanpa campur tangan atau meluai pengadilan. Dengan kata lain tidak perlu meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hak dari pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan undang-undang. Jadi tanpa perjanjian pun hak itu sudah lahir.
Namun dalam praktek, hal tersebut hampir tidak pernah dilaksanakan. Karena juru lelang kadang kala menolak untuk melakukan penjualan di muka umum sebelum adanya persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan alasan karena melalui titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2).

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah pengaturan parte eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan (Undang-undang No. 4 Tahun 1996)?
  2. Apakah parate eksekusi obyek Hak Tanggungan pada kreditor (bank) telah dilakukan sesuai dengan Pasal 6 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT)?

C.    Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam melakukan penelitian terhadap segala permasalahan yang ada, adalah :

a.       Untuk mengetahui bagaimanakah dasar pengaturan oarate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan (Undang-undang No. 4 Tahun 1996?
b.      Untuk mengetahui pelaksanaan parate eksekusi obyek Hak Tanggungan pada pemegang hak tanggungan (kreditor), apakah telah dilakukan sesuai dengan pasal 6 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang beerkaitan dengan tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT)?

D.    Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelilian ini :
a.       untuk menambah bahan kepustakaan dalam hukum jaminan di Indonesia.
b.      untuk dijadikan bahan masukan bagi mereka yang ingin mendalami persoalan eksekusi terutama eksekusi terhadap Hak Tanggungan.
c.       menjadi sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan peraturan perundang-undangan terutama dalam hal mempercepat proses penyelesaian kredit macet.

E.     Kajian Pustaka
Istilah parate eksekusi secara implisit tidak pernah tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Parate eksekusi dari kata paraat yang berarti hak itu siap siaga di tangan kreditor untuk menjual benda jaminan di muka umum atas dasar kekuasaan sendiri.[1]

Pengaturan parate eksekusi telah ada pada saat berlakunya lembaga hipotik, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1178 ayat (2) BW, yang isinya :
“Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu dikarenakannya hipotik, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan di muka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam pasal 1211 BW.”

Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate eksekusi diberikan kalau debitor wanprestasi, maka kreditor bisa melaksanakan eksekusi obyek jaminan tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan.
Parate eksekusi yang semula diatur di dalam hipotik (pasal 1178 ayat (2) BW) kemudian tidak dapat dipungkiri diadopsi oleh UUHT, yang dalam pasal 6 UUHT. Untuk jelasnya substansi pasal 6 UUHT dimaksud adalah :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mangambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

Kalau dibandingkan anatara pasal 6 UUHT dengan pasal 1178 ayat (2) BW ada perbedaan antara parate eksekusi hipotik dengan parate eksekusi Hak Tanggungan, pada hipotik lahir karena diperjanjikan, sedankan parate eksekusi Hak Tanggungan lahir karena ditentukan oleh Undang-undang (ex lege). Kemudian bertolak dari berbagai sumber hukum yang mengatur parate eksekusi, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa parate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan adalah pelaksanaan penyelesaian hak tagih kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melaui pelelangan umum, tanpa didahului fiat Ketua Pengadilan Negeri manakala debitor cidera janji.
Sebagai lembaga jaminan, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Perjanjian jaminan yang melahirkan Hak Tanggungan ini dibuat oleh para pihak dengan tujuan untuk melengkapi perjanjian pokok yang umumnya merupakan perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit. Sehingga dapat ditarik suatu pemahaman, bahwasannya hubungan hukum anatra para pihak itu dijalin oleh 2 (dua) jenis perjanjian, yakni perjanjian kredit selaku perjanjian pokok dan perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan (accessoir).[2]
Suatu lembaga jaminan yang kuat, dalam Penjelasan Umum Nomor 3 UUHT, Hak Tanggungan mempunyai 4 (empat) ciri pokok, yaitu :
a.       Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya;
b.      Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada;
c.       Memenuhi atas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan; dan
d.      Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Adapun hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan menurut pasal 4 ayat (1) UUHT adalah (a) hak milik; (b) hak guna usaha; (c) hak guna bangunan. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifat dapat dipindah-tangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Agar adanya kemudahan dan kepastian hukum terhadap eksekusi Hak Tanggungan khususnya parate eksekusi apabila debitor cidera janji, diharapkan dapat direalisasikan secara nyata. Pelaksanaan eksekusi pada Hak Tanggungan mudah dan pasti merupakan salah satu prinsip dari Hak Tanggungan yang dijabarkan dalam pasal 20 UUHT, eksekusi Hak Tanggungan menurut 3 (tiga) ciri, yakni :
1.      Hak pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUHT (parate eksekusi);
2.      Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2); dan
3.      Eksekusi melalui penjaulan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan (pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang UUHT).
Ketiga eksekusi yang dimaksud oleh pasal 20 UUHT tentunya mempunyai pengertian, ciri dan prosedur yang berbeda satu sama lain.
Ketertarikan membahas parate eksekusi dikarenakan, pertama, lembaga parate eksekusi merupakan lembaga eksekusi di luar pengadilan, maksudnya eksekusi menyimpang dari prinsip eksekusi yang diatur dalam Hukum Acara Perdata, tentunya prosedurnya lebih cepat dari pada eksekusi yang diatur menurut Hukum Acara Perdata. Kedua, dalam praktek hukum parate eksekusi dieleminir oleh Putusan MARI Nomor 3210 K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986. Ketiga, parate eksekusi yang diatur dalam UUHT terdapat kerancuan.
Kerancuan tersebut dapat dilihat apabila membaca pasal 6 UUHT, maka menimbulkan kebingunan, sebab penjelasan pasal 6 UUHT memberikan pemahaman bahwa kewenangan menjual atas kekuasaan sendiri didasarkan pada janji, sedangkan pasal 6 UUHT memberikan kewenangan menurut Undang-undang (ex lege).
Adanya perbedaan pengertian tentang kewenangan tersebut menunjukkan bahwa pembentuk UUHT mempunyai sikap yang tidak konsisten, yang menyebabkan kebingungan dan kekacauan bagi kreditor pada khusunya, sehingga menurut Sutan Remy Sjahdeini, penjelasan pasal 6 UUHT tersebut justru kembali mementahkan harapan perbankan.[3]
Kemudian kalau dikait antara pasal 6 UUHT dengan pasal 11 ayat (2) huruf c UUHT, yang menyebutkan : “janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor ingkar janji”, menimbulkan silang pendapat yang tiada henti-hentinya, bahwa dapat dikatakan pembentuk UUHT dalam memberikan kewenangan (hak) pada kreditor pertama tidak konsisten.

Dalam rangka pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendri melalui pelelangan umum, manakala debitor cidera janji, tertuang dalam pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, yang menyatakan : Hak pemegang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6. Namun apabila membaca penjelasan umum angka 9 UUHT kemudian dihubungkan dengan Penjelasan pasal 14 ayat (2) dan (3). Pemahaman dari kedua penjelasan tersebut menunjukkan kehendak pembentuk UU melalui penafsiran otentiknya untuk :
(1)   Mengatur pelaksanaan parate eksekusi sebagaimana maksud pasal 224 HIR/258 R.Bg.;
(2)   Eksekusi sertifikat Hak Tanggungan melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaha parate eksekusi sesuai dengan Hukum Acara Perdata.
Pengaturan eksekusi menurut Pasal 224 HIR dan 258 RBg adalah eksekusi yang ditujukan bagi grosse acte hipotik (sertifikat Hak Tanggungan) dan grosse acte pengakuan hutang. Kedua grosse acte tersebut dimaksudkan, memang mempunyai hak eksekutorial, yang berarti mempunyai kekuatan sebagai suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan suatu putusan pengadilan yang harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan.
Untuk membedakan Hak Tanggungan ini dari bentuk dan jenis jaminan-jaminan utang yang lain, perlu dipahami asas-asas dari Hak Tanggungan yang tersebar dan diatur dalam berbagai pasal dari UUHT, asas-asas tersebut diantaranya adalah :
1)      Asas droit de preference.
Dari pengertian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUHT tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu (pemegang Hak Tanggungan) terhadap kreditor-kreditor lain.
Mengenai apa yang dimaksudkan dengan pengertian "kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain" disebutkan di dalam Penjelasan Umum angka 4 UUHT yang menyebutkan :
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan urnum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan perundang-urdangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Asas ini adalah asas yang berlaku pula bagi hipotik yang telah digantikan oleh Hak Tanggungan sepanjang yang menyangkut tanah. Dalam ilmu hukum asas ini dikenal sebagai droit de preference.[4] Keberadaan asas ini juga ditemukan dalam Penjelasan Pasal 6 dan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUHT.
2)      Asas droit de suite
Pasal 7 UUHT menetapkan asas, bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek itu berada. Dengan demikian, Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun obyek Hak Tanggungan itu beralih/berpindah tarigan kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga. Ketentuan Pasal 7 UUHT ini "merupakan materialisasi dari asas yang disebut 'droit de suite' atau `zaakgevolg'. Asas ini juga merupakan asas yang diambil dari hipotik yang diatur dalam pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUHPerdata".[5] Asas ini memberikan sifat kepada Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan (zakelijkrecht) sebagai hak yang mutlak, yang dapat dipetahankan terhadap siapapun.
3)      Asas spesialitas
Asas ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang dapat ditentukan secara spesifik. Dianutnya asas spesialitas oleh Hak Tanggungan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 8 UUHT yang menentukan :
(1)   Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(2)   Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.[6]

serta ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e undang-undang tersebut yang menentukan bahwa di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan "uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tangungan".[7]
Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal di atas hanya mungkin terpenuhi apabila obyek Hak Tanggungan telah ada dan secara spesifik dapat ditunjukkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Asas ini dalam hipotik diatur oleh ketentuan Pasal 1174 KUHPerdata.
Menurut Remy Sjandeini "Asas spesialitas tidak berlaku sepanjang mengenai benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari"[8], karena wujud dari benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu belum diketahui, dan baru akan ada dikemudian hari.
4)      Asas Publisitas
Salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas atau asas keterbukaan, karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Asas ini di dalam hipotik diatur dalam Pasal 1179 KUHPerdata.
Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada kreditor, Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak Tanggungan itu baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. Oleh karenanya kepastian mengenai saat didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut bukan saja untuk menentukan kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditor lain, melainkan juga menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang juga pemegang Hak Tanggungan, dengan obyek yang sama sebagai jaminannya.
Mengenai kewajiban didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan kepada Kantor Pertanahan secara tegas diatur dalam Pasal 13 UUHT. Dalam pasal itu ditegaskan pula, bahwa tanggal buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara lengkap oleh Kantor Pertanahan, dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, maka buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Hari dan tanggal buku tanah tersebut adalah saat lahirnya Hak Tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan Bank di dalam tesis ini adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-­undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yaitu "badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak".[9]
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Perbankan tersebut di atas, yang dimaksud dengan Bank Umum adalah "bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran".[10] Sedangkan yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 adalah "bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran".[11]

F.     Metode Penelitian
1.      Pendekatan Masalah
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (concept approach).
Pendekatan undang-undang (statute aproach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Selanjutnya dicoba pula untuk melakukan pendekatan konseptual (concept approach) yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. "Dengan mempelajari pandangan­pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi".[12]
Penggunaan metode pendekatan demikian didasarkan pada pertimbangan bahwa spesifikasi penelitian ini adalah penelitihan terhadap asas dan norma hukum yang terdapat dalam hukum positif. Pendekatan undang-undang dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru sangat kondusif bagi pelaksanaan parate eksekusi.
2.      Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. "Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas … terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim".[13] Bahan hukum primer dalam hal ini adalah Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement), Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura), Peraturan Perundang-undangan lainnya serta Putusan­-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan-putusan pengadilan.
3.      Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini bahan-bahan hukum yang relevan baik bahan hukum primer maupaun bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui identifikasi, selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan urutan permasalahan dalam penelitian ini.
4.      Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan baik berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, buku-buku teks maupun jurnal-jurnal hukum, dan lain sebagaimya, penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, dan disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap masalah konkrit yang dihadapi, dan hasilnya tidaklah dalam bentuk angka-angka yang memerlukan perhitungan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini berusaha untuk mengungkap asas dan norma hukum ataupun informasi-informasi yang terdapat dalam undang-undang dan diolah dengan langkah berfikir yang sitematis dan logis untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

G.    Sistematika Penulisan
Di dalam Tesis ini sistematikanya dibagi dalam 4 (empat) bab. Antara bab yang satu dengan bab lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sehingga terdapat gambaran yang menyeluruh dari isi penulisan tesis ini.
Di dalam Bab I tentang pendahuluan, menguraikan tentang Latar Belakang Dan Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Kajian Pustaka; Metode Penelitian; dan Sistematika Penulisan tesis ini.
Selanjutnya dalam Bab II tentang Pengaturan Praktek Eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan, adalah sebagai jawaban atas permasalahan yang pertama dan berturut-turut akan dibahas tentang dasar hukum parate eksekusi; janji kuasa menjual; Pasal 20 UUHT sebagai dasar eksekusi obyek Hak Tanggungan; Penjelasan Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996.
Kemudian dalam Bab III tentang Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan, adalah sebagai jawaban atas permasalahan yang kedua dan berturut-turut akan dibahas tentang Sarana Hukum Dan Lembaga Eksekusi Dalam Penyelesaian Kredit Macet; Proses Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan serta Pelaksanaan Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Dalam Praktek Perbankan.
Dan terakhir pada Bab IV merupakan bab Penutup yang menyimpulkan jawaban-jawaban atas permasalahan berdasarkan uraian dalam bab kedua dan bab ketiga, dengan disertai saran-saran sebagai kelengkapan penulisan tesis ini.

BAB II
PENGATURAN PARATE EKSEKUSI DALAM
UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN

A.    Dasar Hukum Parate Eksekusi
Sebenarnya istilah parate ekskusi secara tersurat tidak pernah tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Istilah parate eksekusi sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya secara etimologis berasal dari kata “paraat” artinya siap ditangan, sehingga parate eksekusi dikatakan sebagai sarana yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate eksekusi mempunyai arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim.[14]
Pengertian parate eksekusi yang diberikan oleh doktrin,[15] “kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate eksekusi, diberikan arti, bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditur dapat melaksanakan eksekusi obyek jaminan, tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main dalam Hukum Acara, untuk itu ada aturan mainnya sendiri. Tidak perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya prosedurnya lebih mudah dan biaya lebih mudah.
Sehingga istilah parate eksekusi dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri melaui lembaga pelelangan umum tanpa melaui fiat Ketua Pengadilan.
Dalam UUHT istilah parate ekskusi secara implicit justru tersurat dan tersirat, khususnya diatur dalam penjelasan umum angka 9 UUHT, yang menyebutkan :
“Salah satu cirri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tetnang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate ekskusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR dan pasal 258 R.Bg.”

Penjelasan umum tersebut diatur, maksud pembentuk UUHT menyatakan meskipun pada dasarnya eksekusi secara umum diatur oleh Hukum Acara Perdata, namun untuk membuktikan salah satu cirri Hak Tanggungan terletak pada pelaksanaan eksekusinya adalah mudah dan pasti. Oleh karena itu secara khusus ketentuan ekskusi Hak Tanggungan diatur lemabga parate eksekusi.
Pengaturan parate eksekusi dalam UUHT, maka dasar berpijaknya adalah pada pengaturan mengenai eksekusi Hak Tanggungan, yang diatur dalam pasal 20 ayat (1) UUHT yang menyatakan :
(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
a.       Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, atau
b.      Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melaui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunsan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.”

Jadi pada pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, dinyatakan bahwa apabila debotor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tangungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUHT. Sedangkan teks yuridis pasal 6 UUHT substansi adalah :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasannya dari hasil penjualan tersebut.”

Esensi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6 UUHT tersebut, adalah :
1)      Debitor cidera janji;
2)      Kreditor pemegang Hak Tangungan pertama diberi hak;
3)      Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekhususan sendiri;
4)      Syarat penjualan melaui pelelelangan umum;
5)      Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
6)      Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya sebatas hak tagih.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6 UUHT menunjukkan ada 2 (dua) hal yang penting manakala debitor wanprestasi, yaitu hak dan pelaksanaan hak bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama.
Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri pada pasal 6 UUHT seperti halnya dalam pasal 1155 B.W. yang mengatur tentang parate eksekusi pada obyek gadai telah diberikan ex lege. Hal tersebut jelas berbeda dengan hipotik, hak kreditor pemegang hipotik pertama mempunyai hak parate eksekusi apabila telah diperjanjikan antara kreditor dengan debitor selaku pemberi jaminan.
Dapat dipahami tujuan pembentuk UUHT untuk membentuk lembaga parate eksekusi, selain memberikan sarana yang memang sengaja diadakan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kembali pelunasan piutangnya dengan cara mudah dan murah, dengan maksud untuk menerobos formalitas hukum acara, di satu sisi tujuan pembentukan parate eksekusi secara Undang-undang (ex lege), dengan maksud untuk memperkuat posisi dari kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama pada pihak-pihak yang mendapat hak dari padanya.[16]
Dalam menggunakan pasal 6 UUHT dikarenakan pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan hanya melaui pelelangan umum, tanpa harus meminta fiat Ketua Pengadilan Negeri. Terutama menunjukkan efisiensi waktu dibandingkan dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Mengingat kalau prosedur eksekusi melalui formalitas Hukum Acara, proses yang dilalui memerlukan waktu yang lama dan rumit prosedurnya. Parate eksekusi lebih murah dibandingkan dengan pelaksanaan eksekusi menggunakan titel eksekutorial, karena tidak menanggung biaya untuk mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Maka pasal 6 UUHT merupakan dasar hukum berlakunya parate eksekusi manakala debitor wanprestasi, yang dipergunakan sebagai sarana yang sangat baik demi penyesuaian terhadap kebutuhan ekonomi.

B.     Janji Kuasa Menjual
Dalam pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang – piutang.
Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya haruslah merupakan ikatan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hutang – pituang ini dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, bergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu.
Janji-janji untuk memberikan Hak Tangungan sebagai pelunasan hutang disebut dengan tahap Pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang didahului dengan hutang piutang yang dijamin, dan tahap pendaftaran oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Sehubungan dengan batasan dalam judul tesis tersebut di atas, yaitu tentang parate eksekusi Hak Tanggungan dalam praktek perbankan, maka sekarang akan ditinjau hal-hal apa saja yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan (kreditor) tanpa adanya bantuan atau campur tangan pengadilan negeri, melainkan hanya berdasarkan bantuan pejabat lelang atau Kantor Pelayananan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atau apa yang disebut dengan parate eksekusi Hak Tanggungan. Sebab, Hak Tanggungan sebagai salah satu hak jaminan kebendaan dalam rangka pelunasan utang debitor kepada kreditor, menurut pengamatan kami adalah paling banyak dan paling populer digunakan dalam dunia perkreditan dewasa ini.
1.      Janji Untuk Menjual Atas kekuasaan Sendiri.
Penjualan agunan secara lelang yang merupakan upaya paksa (represif) sebenarnya selalu dihindari oleh kreditor. Biasanya kreditor melakukan upaya pendekatan persuasif, misalnya dengan meminta pihak debitor menjual di bawah tangan atas obyek jaminan, dan hasilnya digunakan untuk melunasi utangnya, atau upaya restrukturisasi kredit lainnya. Namun upaya persuasif kadang-kadang tidak dapat dilakukan, oleh karena itu digunakan pendekatan represif (eksekusi) dengan jalan obyek jaminan dijual secara lelang.
Hal yang penting untuk dikemukan sehubungan dengan pembahasan tentang dasar hukum parate eksekusi Hak Tanggungan adalah adanya janji-janji Hak Tanggungan, yaitu janji-janji yang dapat dan sekarang selalu diperjanjikan oleh pemegang Hak Tanggungan, yang memberikan kepada pemegang Hak Tanggungan suatu kemudahan dalam mengambil pelunasan dan suatu kedudukan yang diutamakan, yang tentunya sangat menarik dan menguntungkan bagi kreditor/pemegang Hak Tanggungan.
Dari berbagai macam janji-janji Hak Tanggungan yang dapat diperjanjikan oleh para pihak, penulis akan mengemukakan janji yang berkaitan dengan parate eksekusi, yaitu "janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri" (beding van eigenmachtig verkoop). Janji seperti itu diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT yang menyebutkan :
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain.
………………………………………………………………………
e. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.
………………………………………………………………………
j. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.[17]

Undang-undang Hak Tanggungan dalam hal ini hanya mengingatkan saja kepada kreditor/pemegang Hak Tanggungan akan kemungkinan untuk memperjanjikan janji-janji seperti itu, karena pada asasnya orang dapat memperjanjikan apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang‑undang yang bersifat memaksa, tata krama (kesusilaan) dan ketertiban umum.
Sebelum berlakunya UUHT yang menggantikan ketentuan mengenai hipotik sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri ini telah diatur dalam Pasal 1178 ayat (2) yang berbunyi :


Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan di muka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam pasal 1211.[18]

Dimuatnya janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Menurut Remy Sjandeini :
Janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat fakultatif dan tidak limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, baik sebagian maupun seluruhnya. Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji­-janji lain selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.[19]

Pada prinsipnya seorang pemegang Hak Tanggungan bebas untuk memperjanjikan klausula ini atau tidak. Tentang harus atau tidaknya klausula ini diperjanjikan, saat ini bukanlah hal yang perlu dipersoalkan lagi, karena Akta Pemberian Hak Tanggungan sudah tercetak dan disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan dijual melalui Kantor Pos yang format blanko formulirnya dibuat dalam bentuk yang seragam berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan, yang di dalamnya sudah tercetak janji seperti itu, sehingga tidak mungkin lagi ada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang lupa untuk mencantumkannya.
Memang di dalamnya tidak secara tegas menunjuk kepada ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUHT, akan tetapi intinya adalah sama, yaitu dimana disebutkan :
• Jika Debitor tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi utangnya, berdasarkan perjanjian utang-piutang tersebut di atas, oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua selaku Pemegang Hak Tanggungan Peringkat Pertama dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan, dan untuk itu kuasa, untuk tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Pihak Pertama :
a.       menjual atau suruh menjual dihadapan umum secara lelang Obyek Hak Tanggungan baik seluruhnya maupun sebagian-sebagian;
b.      mengatur dan menetapkan waktu, tempat, cara dan syarat-syarat penjualan;
c.       menerima uang penjualan, menandatangani dan menyerahkan kwitansi;
d.      menyerahkan apa yang dijual itu kepada pembeli yang bersangkutan;
e.       mengambil dari uang hasil penjualan itu seluruhnya atau sebagian untuk melunasi utang Debitor tersebut di atas; dan
f.       melakukan hal-hal lain yang menurut Undang-Undang dan peraturan hukum yang berlaku diharuskan atau menurut pendapat Pihak Kedua perlu dilakukan dalam rangka melaksanakan kuasa.
………………………………………………………………………
• Jika Pihak Kedua mempergunakan kekuasaannya untuk menjual Obyek Hak Tanggungan, Pihak Pertama akan memberikan kesempatan kepada yang berkepentingan untuk melihat Obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan pada waktu yang ditentukan oleh Pihak Kedua dan segera mengosongkan dan menyerahkan Obyek Hak Tanggungan tersebut kepada Pihak Kedua atau pihak yang ditunjuk oleh Pihak Kedua agar selanjutnya dapat menggunakan dalam arti kata yang seluas-luasnya.[20]
Meskipun dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut ditetapkan, bahwa yang boleh memperjanjikan klausula seperti itu hanya pemegang Hak Tanggungan yang pertama, namun dalam prakteknya semua pemegang Hak Tanggungan memperjanjikan klausula seperti itu, karena aktanya sudah tercetak dalam bentuk yang seragam. Undang-undang tidak melarang pemegang Hak Tanggungan lainnya untuk memperjanjikan kewenangan seperti itu, sebab dikemudian hari, karena adanya pergeseran, ia mungkin akan berkedudukan sebagai pemegang Hak Tanggungan pertama, yaitu kalau Hak Tanggungan pertama, karena pelunasan akan menjadi hapus dan pemegang Hak Tanggungan yang di bawahnya akan bergeser ke atas menjadi yang pertama.
2.      Dasar Kewenangan Menjual Berdasarkan Undang-undang.
Pada masa yang lalu memang semua pemegang hipotik selalu memperjanjikan kuasa ex Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan tidak pula ada ketentuan undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan kepada pemegang hipotik untuk menjual obyek hipotik atas kekuasaan sendiri, dan pemegang hipotik pertama hanya mempunyai hak seperti itu kalau ia dengan tegas memperjanjikannya. Karena janji ex Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang‑undang Hukum Perdata tersebut selalu diperjanjikan, “maka ada yang menyebutnya sebagai `suatu formula tetap dan dapat dikatakan tidak pernah dilupakan”.[21] Sehingga timbul pertanyaan, mengapa hak ini tidak dianggap sebagai hak yang sudah termasuk di dalam hak hipotik.
Saat ini dengan diberlakukannya UUHT, selain "janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri" berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) diperbolehkan untuk dimuat, bahkan secara baku telah dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 6 undang-undang tersebut telah pula ditegaskan bahwa "Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyak Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut".[22]

C.    Pasal 20 UUHT sebagai Dasar Eksekusi Obyek Hak Tanggungan
Salah satu fasilitas atau ciri yang diberikan oleh Undang-undang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, maka eksekusinya mudah dan pasti, hal tersebut dapat dilaksankan jika pemberi hak tanggungan (debitor) tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan, demikian disebutkan dalam penjelasan angka 9 UUHT. Adapun mengenai eksekusi obyek Hak Tanggungan yang diatur dalam pasal 20 UUHT pemegang Hak Tanggungan diberikan pilihan eksekusi sebagai berikut :
Hak pemegang Hak Tanggungan pertama sebagaimana dimaksud di atas, telah pula dipertegas kembali di dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang menyebutkan :
Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :

a.       hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b.      titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.[23]

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 maupun Pasal 20 ayat (1) UUHT ini sebenarnya tidak saja sejalan dan mempertajam apa yang telah diatur dalam Pasal 11 ayat (2) atau apa yang diatur sebelumnya dalam Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang beding van eigenmachtige verkoop pada lembaga hipotik/credietverband, tapi juga bermakna bahwa Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT ini menghendaki kewenangan kreditor untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut, dapat diartikan bukan saja karena diperjanjikan, melainkan hak atau kewenangan kreditor tersebut ada padanya karena memang undang­-undang sendiri juga memberikan padanya atau menetapkannya demikian (ex lege).
Menurut Herowati Poesoko :
Dari konsep Rancangan Undang-Undang terlihat adanya kehendak Pembentuk UUHT untuk menjadikan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri sebagai suatu hak yang timbul karena Undang-Undang, bukan karena janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan.
Tetapi kemudian, setelah melalui pembahasan di DPR, terjadi perubahan dengan ditambahkannya janji untuk menjual atas kekuasan sendiri ke dalam rangkaian janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).[24]
Terhadap adanya pendapat (sebagaimana juga Herawati Poesoko) yang menyatakan bahwa substansi Penjelasan Pasal 6 UUHT jika dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e dan blanko formulir Akta Pemberian Hak Tanggungan yang mencantumkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri adalah tidak sinkron dengan substansi Pasal 6, oleh karena berdasarkan Pasal 6 UUHT bahwa hak/kewenangan tersebut adalah didasarkan pada ex lege, sedangkan Penjelasan Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e didasarkan pada janji, sehingga dianggap membingungkan, mana yang benar, apakah kewenangan tersebut diberikan secara ex lege atau karena diperjanjikan?, menurut penulis hal ini sepintas memang terlihat demikian, seolah-olah terjadi kontradiksi ataupun kerancuan yang menimbulkan inkonsistensi norma yang berkaitan dengan hak/kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi).
Akan tetapi jika kita amati ketentuan yang dimuat dalam Penjelasan Pasal 6 UUHT yang menyatakan :
Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan ini lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan."[25]

maupun Penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf e yang juga menyatakan "Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji ini".[26], maka penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Kartini Muljadi dan Gunaan Widjaja yang menyatakan bahwa :
Hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut adalah hak yang semata-mata diberikan oleh undang-undang. Walau demikian tidaklah berarti hak tersebut demi hukum ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atas hak atas tanah.[27]

sehingga jika hal tersebut tidak diperjanjikan lebih dulu, maka kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama tidaklah mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, akan tetapi eksekusinya haruslah dilakukan melalui titel eksekutorial sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b undang-undang tersebut. Dari pemahaman ini akhirnya bisa dicermati maksud pembentuk undang-undang mencantumkan/memberikan alternatif penyelesaian bagi kreditor/pemegang Hak Tanggungan dalam hal dilakukan eksekusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, apakah dilakukan melalui Parate Eksekusi atau harus dilakukan melalui titel eksekutorial yang proses pelaksanaannya harus melalui fiat eksekusi dari pengadilan negeri.

Demi tercapainya suatu kepastian hukum dalam rangka melindungi kepentingan pemegang Hak Tanggungan pertama sesuai dengan uraian pemahaman tersebut di atas, haruslah dipandang bahwa hak/kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri tersebut diperoleh oleh kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama tidak semata-mata oleh karena diperjanjikan, tetapi juga karena undang-undang menetapkan demikian (setelah terlebih dahulu diperjanjikan). Hal ini adalah untuk lebih menekankan bahwa undang-undang memberikan jaminan dalam aturan yang konkrit sebagai norma yang mengikat bahwa "hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri" tersebut adalah sarana yang utama bagi kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kemudahan dalam rangka mendapatkan kembali pelunasan piutangnya, yang merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai olehnya sebagai pemegang Hak Tanggungan pertama.
Untuk tidak menimbulkan multitafsir dalam proses eksekusinya dikemudian hari, maka "janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri" sebagaimana telah tercetak secara baku dalam blanko formulir Akta Pembebanan Hak Tanggungan haruslah tetap dipertahankan ataupun diperjanjikan oleh pemberi maupun pemegang Hak Tanggungan agar hak/kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT dapat dilaksanakan, kecuali pihak-pihak dari sejak semula memang menginginkan ataupun menyepakati lain.

D.    Penjelasan Umum Angka 9 Dan Penjelasan Pasal 14 Ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996
Dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT menyebutkan salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene lndonesisch Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura).
Sehubungan dengan itu pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat Hak Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk eksekusi hypotheek atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua reglemen tersebut.
Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan lebih lanjut dalam Undang­-undang ini, bahwa selama belum ada peraturan perundangan­-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang diatur dalam kedua Reglemen tersebut, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.[28]


Apabila Penjelasan Umum angka 9 tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT yang memberikan hak kepada kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, sedangkan Penjelasan Umum angka 9 mengatur agar parate eksekusi pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg yang sebenarnya ditujukan kepada grosse akta hipotik dan grosse akta' pengakuan hutang yang mempunyai hak eksekutorial sebagai suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan putusan pengadilan yang harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, maka jelas terlihat bahwa pembentuk undang-undang sendiri juga telah mengulangi kekeliruan yang terdapat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam putusannya No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, yaitu dengan mencampuradukkan antara pengertian parate eksekusi dengan pengertian eksekusi berdasarkan grosse akta/sertifikat Hak Tanggungan dimana pelaksanaannya memang harus dilakukan menurut ketentuan Pasal 224 HIR/268 RBg. Lantas, apa gunanya orang memperjanjikan parate eksekusi di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan?, dan apa gunanya ketentuan Pasal 6 dimuat dalamUUHT ?.
Apa yang disebutkan dalam Penjelasan angka 9 UUHT tersebut jelas tidak saja bertentangan dengan ratio legis dimuatnya ketentuan Pasal 6 dalam UUHT tersebut, tetapi juga telah menunjukkan sikap inkonsistensi dari pembentuk undang-undang yang telah memberikan kewenangan kepada kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, dan keadaan ini akhirnya kembali mementahkan harapan para pelaku ekonomi khususnya kalangan perbankan. Untuk itu, nampaknya masih diperlukan suatu pembahasan yang lebih mendalam agar tidak terjadi kerancuan pengaturan dan penganuliran terhadap lembaga parate eksekusi dalam praktek hukum, sebab pengaturan parate eksekusi dalam UUHT diharapkan dapat menjadi tiang pokok bagi lembaga jaminan Hak Tanggungan.
Dalam Pengertian parate eksekusi (hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri) terkandung arti, bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditor bisa melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan (Hak Tanggungan) melalui pelelangan umum, tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan Negeri, tanpa harus mengikuti aturan main dalam hukum acara, tidak perlu ada sita terlebih dahulu, karena itu prosedurnya lebih mudah dengan biaya yang lebih murah. Sedangkan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/258 RBg harus dilakukan di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dengan mengikuti hukum acara yang berlaku layaknya eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Apabila pelaksanaan parate eksekusi harus melalui dan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 224 HIR/258 RBg), hal ini jelas menyimpang dari Pasal 6 UUHT yang merupakan peraturan yang sifatnya substantif. Jadi seharusnya pembentuk undang-undang tidak mendasarkan pelaksanaan parate eksekusi pada Pasal 224 HIR/258 RBg seperti yang disebutkan oleh Penjelasan Umum angka 9 UUHT tersebut.
Kekeliruan pembentuk undang-undang yang telah menyamakan pengertian/prosedur eksekusi berdasarkan parate eksekusi dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial (sertifikat Hak Tanggungan) sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum angka 9, ternyata telah diulangi kembali dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT dengan menyebutkan :
Irah-irah yang dicantumkan pada setifikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada setifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji, siap untuk diseksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melaiui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata.[29]

Dari kedua penjelasan tersebut, pembentuk undang-undang telah menafsirkan sama tentang prosedur parate eksekusi dengan prosedur eksekusi sertifikat Hak Tanggungan, yaitu menggunakan prosedur sesuai dengan Hukum Acara Perdata. Jadi harus melalui izin dan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, dan jika debitor benar-benar cidera janji (wanprestasi), maka pemegang Hak Tanggungan pertama dapat melaksanakan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dengan cara menjual lelang obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tapi penjualannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg. Disini pelaksanaan parate eksekusi mengalami pemaknaan ganda, satu sisi pelaksanaannya langsung melalui pelelangan umum (Pasal 6 UUHT) tapi di sisi lain harus mendapatkan fiat dari Ketua Pengadilan Negeri (berdasarkan Pasal 224 HIR/258 RBg).
Sebenarnya jika kita amati ketentuan Pasal 26 yang mengatur tentang Ketentuan Peralihan UUHT dimana disebutkan "Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan".[30], dan dengan memperhatikan pula penjelasannya yang menyebutkan :
Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada dalam pasai ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941-44) Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura, Staatsblad 1927-227).
Ketentuan Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse acte hypotheek yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hypotheek, dalam hal Hak Tanggungan adalah sertifikat Hak Tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek atas tanah yang tersebut di atas.
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelesan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam Pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut. Ketentuan hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaarnya.[31]

di sini pembentuk undang-undang telah memberikan pemahaman yang benar, bahwa eksekusi Hak Tanggungan yang pelaksanaannya di dasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg adalah eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan (titel eksekutorial), yaitu dilaksanakan dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya. Pemahaman inilah yang bersesuaian atau tidak menyimpang dengan apa yang dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT tentang pilihan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan. Menurut Herowati Poesoko "Aturan yang menyimpang tentunya bukan untuk digunakan melainkan patut dan layak untuk diabaikan atau bahkan tidak perlu digunakan sebab dapat menjadi kendala bagi salah satu tujuan hukum yakni kegunaan (zwekmaszigkeit)".[32]
Berkenaan dengan hal yang telah dikemukakan di atas, dan agar tidak lagi ada keraguan dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT, ada baiknya diperjelas terlebih dahulu, apakah hal-hal yang dikemukakan atau ditentukan dalam memori penjelasan suatu undang­undang mempunyai sifat mengikat secara hukum ?, sebab apa yang telah dikemukakan oleh Penjelasan Umum angka 9 maupun Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT sebagaimana tersebut diatas, sudah tidak lagi sekedar bersifat menjelaskan, tetapi telah memberikan ketentuan baru di luar pasal yang dijelaskan.
Menurut Remy Sjandeini :
Memori Penjelasan Undang-undang tidak boleh bertentangan dengan dan tidak boleh memberikan ketentuan tambahan di luar (pasal-pasal dari) undang-undang yang dijelaskannya. …. Memori Penjelasan suatu Undang-undang tidak mengikat secara hukum karena suatu undang-undang berlaku dan mengikat sekalipun seandainya telah dikeluarkan tanpa diikuti Memori Penjelasan. Sebaliknya, suatu Memori Penjelasan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa adanya undang-undang (yang dijelaskan oleh Memori Penjelasan tersebut).[33]

Apabila Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 6 UUHT yang telah memberikan rumusan norma yang jelas tentang "hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual dengan kekuasaan sendiri obyek Hak Tangggungan melalui pelelangan umum (parate eksekusi)" dihubungkan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Remy Sjandeini, maka Penjelasan Umum angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT jelas tidak dapat dipakai sebagai sandaran terhadap pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan, karena disamping bertentangan dengan ratio legis pengaturan parate eksekusi, memori penjelasan itu sendiri juga tidak mengikat secara hukum, sehingga oleh karenanya haruslah diabaikan.




BAB III
PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN

A.    Sarana Hukum Dan Lembaga Eksekusi Dalam Penyelesaian Kredit Macet
Upaya penyelesaian masalah kredit macet umumnya diawali dengan upaya-upaya dari bank sebagai pihak kreditor antara lain dengan cara melakukan penagihan secara langsung oleh bank kepada debitor yang bersangkutan untuk segera melunasi kredit atau utang-utangnya.
Apabila penyelesaian dengan cara tersebut tidak berhasil dilaksanakan, pada umumnya upaya yang dilakukan oleh bank adalah melalui prosedur hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat berbagai sarana hukum dan beberapa lembaga eksekusi yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaian masalah kredit macet.
Adapun sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaian masalah kredit macet perbankan adalah :
1.      Pelaksanaan Pasal 6 UUHT
Dalam pasal 6 UUHT, disebutkan : "Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut".[34]

Dari ketentuan tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tidak memerlukan fiat atau persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat serta tidak memerlukan grosse akta, namun pelaksanaan pasal dimaksud harus dilakukan melalui Kantor Lelang Negara atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Dalam hal ini kreditor bertindak sebagai pihak penjual/pemohon lelang.
Sebelum berlakunya UUHT, sebenarnya tentang adanya hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, juga telah diatur dalam pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal tersebut bahwa kreditor pemegang hipotik pertama dapat diberi kuasa untuk menjual barang agunan dimuka umum untuk melunasi utang pokok atau bunga yang tidak dibayar oleh debitor sebagaimana mestinya.
Dari uraian di atas, terlihat adanya persamaan antara Pasal 6 UUHT dan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, yaitu dalam hal pengaturan tentang kewenangan kreditor untuk menjual barang jaminan di muka umum untuk pelunasan utang apabila debitor ingkar janji. Namun dengan keluarnya UUHT tersebut, maka ketentuan-ketentuan yang telah ada sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi dan tidak terkecuali ketentuan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata.

2.      Grosse Akta Pengakuan Utang dan Sertifikat Hak Tanggungan.
Menurut Pasal 224 HIR/258 RBg diperkenankan eksekusi terhadap perjanjian untuk memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Tujuan pemanfaatan grosse akta pengakuan utang dan grosse hipotik adalah untuk memberikan kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap agar langsung dapat dieksekusi.
Di dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT telah pula disebutkan, bahwa dalam hal debitor cidera janji, selain kepada pemegang Hak Tanggungan pertama diberikan hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan, obyek Hak Tanggungan juga dapat dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya. Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, menurut Pasal 26 UUHT dan penjelasannya, pelaksanaan eksekusi ini (dengan dasar penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya) didasarkan pada Pasal 224 HIR/258 RBg.
Dengan demikian, berdasarkan grosse akta pengakuan utang atau sertifikat Hak Tanggungan kreditor cukup mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar isi dari grosse akta ataupun sertifikat Hak Tanggungan tersebut dapat dilaksanakan. Namun dalam praktek pengadilan, Ketua Pengadilan Negeri masih harus meneliti terlebih dahulu apakah debitor masih berutang kepada kreditor. Dalam hal ternyata debitor tidak lagi mempunyai utang, maka permohonan penetapan eksekusi akan ditolak.
  1. Penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan
Dalam hal penjualan pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT diberi kemungkinan untuk melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan. Asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
Pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan ini memerlukan upaya kreditor melalui pendekatan persuasif dengan meminta debitor untuk menjual di bawah tangan atas obyek jaminan utang dan hasilnya digunakan untuk melunasi utangnya kepada kreditor. Menurut A. T. Hasbullah selaku Direktur Lelang pada Direktorat Jenderal Kekayaan negara :
Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT. Namun alternatif ini seringkali cukup berat untuk dilaksanakan karena harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.      harus ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan;
2.      penjualan tersebut harus capat menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak;
3.      satu bulan sebelumnya terlebih dahulu harus diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan harus diumumkan sedikit­-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada yang menyatakan keberatan.[35]

  1. Putusan yang bersifat serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)
Putusan serta merta adalah merupakan suatu proses khusus yang memungkinkan dapat dilaksanakannya eksekusi sebelum putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut M. Yahya harahap bahwa :
Pasal 180 ayat 1 HIR atau Pasal 191 ayat 1 RBG memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan bending atau kasasi. Terhadap permintaan gugat yang demikian, hakim dapat menjatuhkan putusan yang memuat amar bahwa putusan dapat dilaksanakan lebih dulu, yang lazim disebut 'putusan dapat dieksekusi serta merta'.[36]

Namun putusan yang bersifat serta merta ini tidaklah diperlukan terhadap perjanjian kredit yang jaminannya telah dibebani dengan Hak Tanggungan, hal ini disebabkan karena putusan serta merta ini hanya dapat dilaksanakan setelah adanya gugatan dari kreditor ke pengadilan negeri. Sedangkan pada Hak Tanggungan tidak diperlukan adanya suatu gugatan dalam hal pelaksanaan eksekusinya, karena hanya dengan berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan yang berkekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, pemegang Hak Tanggungan dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Sedangkan lembaga yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah kredit macet perbankan, adalah :
1.      Pengadilan Negeri
Berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 10 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, badan peradilan merupakan lembaga yang sah dan berwenang untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 10 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tersebut, ditetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang menetapkan batas yurisdiksi untuk setiap badan peradilan.
Dalam Pasal 50 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana dirubah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, disebutkan bahwa "Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertarna".[37]
Khusus mengenai permasalahan sengketa perkreditan berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 1986 yurisdiksinya terrnasuk kewenangan lingkungan badan peradilan umurr. Sehingga badan peradilan yang secara resmi bertugas menyelesaikan kredit macet bila disengketakan adalah pengadilan negeri. Namun perlu diingat, bahwa selama ini pengadilan negeri hanya berwenang untuk menyelesaikan sengketa kredit macet dari bank swasta.
Penyelesaian sengketa kredit macet melalui pengadilan negeri dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :
a.       Bank menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kredit yang telah disepakati.
Bank dapat menggugat debitor yang telah wanprestasi dengan tidak membayar utang pokok maupun bunga kepada pengadilan negeri. Pengadilan negeri dalam hal ini akan memproses gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti yang ada dan dalil-dalil yang diajukan oleh kedua belah. Apabila proses pemeriksaan selesai dilakukan, maka pengadilan negeri akan mengeluarkan putusan yang dilanjutkan dengan sita eksekusi atas agunan yang diberikan untuk kepentingan pelunasan kredit.
b.      Bank meminta penetapan eksekusi terhadap barang agunan debitor yang telah diikat dengan sempurna
Terhadap barang agunan debitor yang telah diikat secara sempurna, maka bank dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi barang agunan untuk memperoleh pelunasan piutangnya, tanpa harus melalui proses gugatan ke pengadilan negeri. Setelah menerima permohonan, Ketua Pengadilan Negeri akan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, apakah debitor masih berutang kepada kreditor. Jika ternyata debitor masih berutang, maka permohonan penetapan eksekusi akan dikabulkan.
Dari uraian di atas, maka penyelesaian kredit macet dengan cara yang kedua adalah penyelesaian yang sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, karena dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan tidak perlu melalui proses gugatan ke pengadilan negeri. Kreditor cukup dengan membawa sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.
2.      Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
Dengan Undang-undang No 49 Prp Tahun 1960, PUPN bertugas menyelesaikan piutang negara yang telah diserahkan kepadanya oleh instansi pemerintah atau badan-badan negara. Pengurusan piutang negara dilakukan PUPN dengan terlebih dahulu memanggil pihak debitor untuk menyelesaikan kewajibannya. Jika debitor datang menghadap, maka dijelaskan mengenai tata cara penyelesaian sengketa dengan membuat Surat Pernyataan Bersama antara PUPN dan debitor tentang besarnya jumlah utang dan kesanggupan debitor untuk membayarnya. Surat Pernyataan Bersama tersebut memuat irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", sehingga mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau mempunyai titel eksekutorial. Dalam hal debitor tidak bersedia datang menghadap atau tidak bersedia menandatangani surat pernyataan bersama, maka PUPN menerbitkan Surat Penetapan Jumlah Piutang Negara secara sepihak.
Selanjutnya dalam hal surat pernyataan bersama itu tidak dipenuhi oleh debitor atau berdasarkan Surat Penetapan Jumlah Piutang Negara, PUPN dapat memaksa debitor untuk membayar seluruh utang dengan mengeluarkan Surat Paksa, yang dilanjutkan dengan penyitaan dan pelaksanaan lelang eksekusi. Surat Paksa dikeluarkan dalam bentuk keputusan Ketua PUPN dengan titel eksekutorial, sehingga mempunyai kekuatan seperti grosse dari putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diajukan banding lagi.

B.     Proses Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan.
Pengaturan tentang eksekusi Hak Tanggungan dapat ditemukan landasan hukumnya dalam ketentuan Pasal 20 UUHT yang menyatakan :
(1)   Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
a.       hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b.      titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2).
Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.
(2)   Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
(3)   Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
(4)   Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.
(5)   Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.[38]

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT sebagaimana disebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi atas obyek jaminan Hak Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu :
1.      parate eksekusi;
2.      titel eksekutorial; dan
3.      penjualan di bawah tangan.
Ketiga jenis eksekusi Hak Tanggungan tersebut masing-masing memiliki prosedur pelaksanan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Tentang pengertian parate eksekusi sebenarnya dapat ditemukan dalam Pasal 6 UUHT yaitu, "hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut". Akan tetapi, seperti telah dikemukakan sebelumnya, hak tersebut haruslah terlebih dahulu diperjanjikan oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT atau yang sebelum berlakunya UUHT diatur dalam ketentuan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata.
Dalam melaksanakan kewenangan/hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT dan Penjelasannya ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan oleh kreditur, yaitu :
a.       Klausula ini harus tegas diperjanjikan dan harus didaftarkan
Pada prinsipnya, seorang kreditor/pemegang Hak Tanggungan bebas untuk memperjanjikan klausula ini atau tidak. Namun, seperti yang telah dikemukan sebelumnya, hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut tidaklah dengan sendirinya ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atas hak atas tanah. Oleh karena itu janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e yang telah tercetak dalam blanko formulir Akta Pemberian Hak Tanggungan haruslah tetap dipertahankan/diperjanjikan oleh para pihak. Selanjutnya Akta Pemberian Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, dimana dalam proses pendaftaran ini PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
b.      Debitor harus cidera janji (wanprestasi).
Kreditor/pemegang Hak Tanggungan pada dasarnya tidak membutuhkan eksekusi selama debitor memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik. Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut hanya ditujukan kepada debitor yang cidera janji (wanprestasi) saja.
Apabila debitor tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. la dikatakan alpa, lalai atau cidera janji, atau juga melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya atau bertentangan dengan apa yang telah diperjanjikannya semula.
Cidera janji atau yang disebut dalam bahasa Belanda "wanprestatie" artinya adalah prestasi yang buruk. Atau dengan kata lain "tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang".[39] Menurut M. Yahya Harahap adapaun pengertian yang umum tentang wanprestasi adalah :
Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apa bila dia dalam melakukan pelaksanan prestasi perjanjian telah lalai sehingga ‘terlambat’ dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut 'sepatutnya/selayaknya'.[40]


Dalam hal terjadinya cidera janji (wanprestasi) dalam perjanjian kredit bank, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan wanprestasi yang terjadi pada jenis perjanjian lain. Hanya saja pada perjanjian kredit bank, wanprestasi pada umumnya terjadi karena disebabkan pelunasan kembali kredit yang diberikan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dalam membicarakan wanprestasi kita tidak bisa terlepas dari masalah "pernyataan lalai" dan "kelalaian". Tentang hal ini oleh Pasal 1238 KUHPerdata telah memberikan petunjuk dengan menyatakan "Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan".[41] Adapun yang dimaksud dengan surat perintah dalam Pasal 1238 KUHPerdata tersebut adalah peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan, sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa yang tujuannya sama, yakni untuk memberikan peringatan kepada debitor agar memenuhi prestasi dalam seketika.
Dengan demikian, dalam hal debitor cidera janji (wanprestasi) seperti tersebut di atas, undang-undang sebenarnya mewajibkan kreditor/pemegang Hak Tanggungan untuk memberikan pernyataan lalai kepada debitor. Akan tetapi kewajiban untuk memberikan pernyataan lalai itu dapat ditiadakan dengan jalan mengadakan ketentuan dalam perjanjian yang menyatakan bahwa wanprestasi tersebut cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang telah diperjanjikan, seperti waktu pembayaran/ pelunasan kredit.
Dalam prakteknya, menurut J. Satrio :
Kreditur-pemegang-hipotik pada umumnya memperjanjikan dalam perjanjian kreditnya, bahwa `dengan lewatnya waktu (tanggal tertentu) yang telah disepakati bersama untuk pengembalian kredit saja, sudah merupakan bukti yang nyata akan kelalaian debitur, sehingga tak diperlukan adanya somasi, dan dengan sendirinya kredit yang bersangkutan menjadi matang untuk ditagih.[42]

Jadi pada prinsipnya, dengan berpatokan pada tanggal yang ditetapkan sebagai batas akhir pengembalian kredit saja sudah bisa dijadikan pedoman untuk menentukan apakah debitur sudah cidera janji (wanprestasi) atau belum.
c.       Merupakan hak pemegang Hak Tanggungan pertama.
Undang-undang menetapkan bahwa kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri tersebut adalah merupakan hak pemegang Hak Tanggungan pertama saja. Hal ini dimaksudkan adalah untuk menjaga agar tidak timbul kesulitan disebabkan adanya sengketa diantara sesama pemegang Hak Tanggungan dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan.
Meskipun dalam pasal 11 ayat (2) huruf e ditetapkan bahwa yang dapat memperjanjikan klausula seperti itu hanya pemegang Hak Tanggungan pertama saja, narnun dalam prakteknya semua pemegang Hak Tanggungan memperjanjikan klausula seperti itu, karena disamping sudah tercetak dalam blanko formulir Akta Pembebanan Hak Tanggungan, undang-undang sendiri tidak melarang pemegang Hak Tanggungan lain memperjanjikan kewenangan seperti itu, apalagi ada kemungkinan terjadi pergeseran kedudukan, dimana Hak Tanggungan pertama oleh karena pelunasan akan menjadi hapus dan pemegang Hak Tanggungan berikutnya atau di bawahnya akan bergeser ke atas menjadi yang pertama.
d.      Pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri harus melalui pelelangan umum.
Syarat penjualan "melalui pelelangan umum" adalah merupakan salah satu wujud adanya jaminan, bahwa pelaksanaan hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri itu tidak akan menelantarkan kepentingan yang lain, dalam hal ini baik kepentingan debitor/pemberi Hak Tanggungan maupun pihak ketiga sesama kreditor/pemegang Hak Tanggungan. Dasar pemikiran bahwa harus melalui penjualan dimuka umum atau melaui lelang, menurut Herowati Poesoko adalah :
dengan penjualan obyek jaminan melalui suatu penjualan lelang secara umum dimaksudkan dapat diharapkan akan diperoleh harga yang wajar atau harga yang lebih tinggi, karena dalam suatu lelang tawaran yang rendah dapat diharapkan akan memancing peserta lelang lain untuk mencoba mendapatkan benda lelang dengan menambah tawaran. lni merupakan salah satu wujud bagi perlindungan hukum kepada pemberi jaminan (debitor).[43]



Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 40/PMK 07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang jo. Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 150/PMK.06/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, bahwa lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang, sedangkan pada Pasal 2 ditegaskan bahwa setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Adapun yang dimaksud dengan Pejabat Lelang adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan melaksanakan penjualan barang secara lelang, yang terdiri dari Pejabat Lelang Kelas I yang berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dan berwenang melaksanakan lelang untuk semua jenis lelang, serta Pejabat Lelang Kelas II yang berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II dan hanya berwenang melaksanakan lelang berdasarkan permintaan Balai Lelang atas jenis lelang Non Eksekusi Sukarela, lelang aset BUMN/D berbentuk Persero dan lelang aset milik Bank dalam likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 Permenkeu No. 40/PMK. 07/2006 jo. Permenkeu No. 150/PMK.06/2007 tersebut di atas, bahwa lelang berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT adalah termasuk jenis Lelang Eksekusi, yaitu lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum. Dalam pasal ini disebutkan pula bahwa yang termasuk dalam lelang eksekusi ini adalah : Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, Lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 KUHAP, Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fiducia dan Lelang Eksekusi Gadai.
Kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama yang bermaksud melakukan penjualan secara lelang berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT, langsung mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis kepada Kepala KPKNL disertai dengan dokumen persyaratan lelang tanpa memerlukan lagi persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan. Dalam hal ini KPKNL tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan kepadanya sepanjang dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas subyek dan obyek lelang.
Kreditor sebagai penjual/pemilik barang dapat mengajukan syarat­syarat lelang tambahan yang dilampirkan dalam surat permohonan lelang sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain :
a.       jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum pelaksanaan lelang (aanwidjzing);
b.      jangka waktu bagi calon pembeli untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang akan dilelang;
c.       jangka waktu pembayaran harga lelang;
d.      jangka waktu pengambilan/penyerahan barang oleh pembeli
Tempat pelaksanaan lelang harus di wilayah kerja KPKNL tempat obyek Hak Tanggungan berada. Pengecualian terhadap ketentuan itu hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari :
a.       Direktur Jenderal pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) atas nama Menteri untuk barang yang berada di luar wilayah Republik Indonesia;
b.      Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuk untuk barang yang berada dalam wilayah antar Kantor Wilayah DJKN; atau
c.       Kepala Kantor Wilayah DJKN setempat untuk barang yang berada dalam wilayah Kantor Wilayah DJKN setempat.
Surat persetujuan sebagairnana dimaksud di atas dilampirkan pada surat permohonan lelang dan KPKNL dapat mensyaratkan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menggunakan tempat dan fasilitas lelang yang disediakan oleh DJKN, sedangkan waktu pelaksanaan lelang dilakukan pada jam dan hari kerja KPKNL.

Penjualan secara lelang wajib didahului dengan Pengumuman Lelang yang dilakukan oleh penjual/pemegang Hak Tanggungan melalui surat kabar harian di tempat obyek Hak Tanggungan berada atau ditempat yang terdekat atau di ibukota propinsi yang bersangkutan dan beredar di wilayah kerja KPKNL tempat obyek Hak Tanggungan akan dijual sesuai dengan tiras/oplah yang ditentukan dalam Permenkeu ini, dan harus dicantumkan dalam halaman utama/reguler dan dilarang dicantumkan pada halaman suplemen/tambahan/khusus. Dalam hal dipandang perlu, penjual/pemegang Hak Tanggungan dapat menambah pengumuman lelang dengan menggunakan media lainnya guna mendapatkan peminat yang seluas-luasnya. Pengumuman lelang ini dilakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu berselang 15 (lima belas) hari. Pengumuman yang pertama diperkenankan melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum, dan dapat ditambah melalui media elektronik, namun demikian jika dikehendaki pengumuman pertama dapat dilakukan dengan surat kabar harian, sedangkan pengumuman kedua harus melalui surat kabar harian dan dilakukan berselang 14 (empat betas) hari sebelum hari pelaksanaan lelang.
Pengumuman lelang atas obyek Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 jo. Permenkeu No. 150/PMK.06/2007 tersebut di atas paling sedikit memuat :
a.       identitas penjual;
b.      hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang;
c.       jenis dan jumlah barang;
d.      lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan;
e.       jangka waktu melihat obyek yang akan dilelang;
f.       uang jaminan penawaran lelang meliputi besaran, jangka waktu, cara dan tempat penyetoran;
g.      jangka waktu pembayaran harga lelang;
h.      harga limit (reserve price).
Pengumuman Lelang Ulang dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian berselang 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan lelang, jika waktu pelaksanaan lelang ulang dimaksud tidak melebihi 60 (enam puluh) hari dari pelaksanaan lelang terdahulu, dan jika waktu pelaksanaan lelang ulang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dari pelaksanaan lelang terdahulu, maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) Permenkeu sebagaimana telah disebut di atas.
Dalam pelaksanaan lelang, lelang pertama harus diikuti oleh paling sedikit 2 (dua) peserta lelang, sedangkan lelang ulang dapat dilaksanakan dengan diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang. Pada setiap pelaksanaan lelang, penjual wajib menetapkan harga limit berdasarkan pendekatan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan, serendah-­rendahnya ditetapkan sama dengan nilai likuidasi (forced sale value) dan bersifat terbuka/tidak rahasia dan harus dicantumkan dalam pengumuman lelang. Sedangkan bagi peserta lelang agar dapat menjadi peserta lelang diharuskan pula menyetor uang jaminan penawaran lelang kepada KPKNL yang besarnya paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dan paling banyak 50 % (lima puluh persen) dari perkiraan harga limit.
Penawaran lelang dilakukan secara langsung, dimana semua peserta lelang yang sah atau kuasanya (dengan akta notaris) pada saat mengajukan penawaran harus hadir di tempat pelaksanaan lelang yang dapat dilakukan dengan cara :
a.       lisan, semakin meningkat atau menurun;
b.      tertulis;
c.       atau tertulis dilanjutkan dengan lisan, dalam hal penawaran tertinggi belum mencapai harga limit.
Pejabat lelang dapat mensahkan penawar tertinggi sebagai pembeli apabila penawaran yang diajukan telah mencapai atau melampaui harga limit. Dalam hal ini Pejabat Lelang, Kreditor/Penjual, Pemandu Lelang, Pengacara/Advokat, Notaris, PPAT, Pegawai KPKNL dan Debitor yang terkait langsung dengan proses lelang dilarang menjadi pembeli lelang. Akan tetapi sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang­undangan dibidang perbankan dan pertanahan, Bank sebagai kreditor dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan menyampaikan Surat Pernyataan bahwa pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, dan dalam hal jangka waktu tersebut telah terlampaui, bank dianggap sebagai pembeli.
e.       Pelunasan piutang diambil dari hasil penjualan lelang
Pembeli lelang sesuai dengan Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 jo. Permenkeu No. 150/ PMK.06/2007 harus sudah melakukan pembayaran harga lelang secara tunai/cash atau cek/giro dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang kepada Bendaharawan Penerima KPKNL dan untuk pembayaran ini oleh KPKNL wajib dibuatkan kwitansi atau tanda bukti pembayaran harga lelang dan diserahkan kepada pembeli lelang. Selanjutnya penyetoran hasil bersih lelang kepada kreditor/penjual dilakukan oleh KPKNL paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pembayaran diterima oleh Bendahara Penerima KPKNL, sedangkan Bea Lelang dan Pajak Penghasilan (PPh) disetorkan ke Kas Negara oleh Bendaharawan Penerima KPKNL dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah pembayaran diterima.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) UUHT dapat dipahami bahwa kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan lelang obyek Hak Tanggungan lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Dalam hal hasil penjualan lelang lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya adalah menjadi hak dan harus diserahkan kepada pemberi Hak Tanggungan. Bahkan dalam ketentuan Pasal 21 UUHT disebutkan "Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini".[44] Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan dengan mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa disamping parate eksekusi masih ada 2 (dua) cara lagi yang dapat ditempuh oleh kreditor/pemegang Hak tanggungan untuk mengambil pelunasan piutangnya dalam hal debitor/pemberi Hak Tanggungan cidera janji, yaitu eksekusi melalui titel eksekutorial dan penjualan di bawah tangan.
Untuk eksekusi yang menggunakan titel eksekutorial yang terdapat dalam setifikat Hak Tanggungan (sebelumnya menggunakan grosse akta hipotik) pelaksanaan penjualan benda jaminan atau obyek Hak Tanggungan tersebut "tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR/258 RBg, yang prosedur pelaksanaannya memerlukan waktu yang lama".[45] karena memerlukan fiat eksekusi dan Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan penjualan di bawah tangan, pelaksanaannya harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, adanya syarat bagi pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan untuk memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang berkepentingan (pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan kreditor lainnya dari pemberi Hak Tanggungan) setidak­-tidaknya 1 (satu) bulan sebelum pelaksanaan penjualan dilakukan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

C.    Pelaksanaan Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Dalam Praktek
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan didasarkan pada hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atau berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan penjualan obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum untuk pelunasan hutang debitor.
Dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) UUHT, antara lain disebutkan :
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan. Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.[46]

Dari ketentuan di atas, diperoleh ketegasan bahwa setiap eksekusi harus dilakukan dengan cara penjualan obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum, yang hasilnya digunakan untuk pelunasan utang debitor. Utang yang harus dibayar dari hasil lelang obyek Hak Tanggungan maksimal adalah sebesar nilai tanggungan yang disebut dalam sertifikat Hak Tanggungan.
Dalam proses eksekusi Hak Tanggungan pada bank yang terjadi selama ini dalam praktek apabila debitor ingkar janji dan jalan damai tidak berhasil ditempuh, maka kreditor tidak perlu melalui proses gugatan di pengadilan. Akan tetapi kreditor cukup membawa sertifikat Hak Tanggungan yang memakai irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ke pengadilan negeri dan langsung mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana obyek Hak Tanggungan itu berada.
Setelah menerima permohonan itu, Ketua Pengadilan Negeri akan memeriksa bukti yang diajukan. Apabila Ketua Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan itu, maka Ketua Pengadilan Negeri akan menindaklanjuti dengan menerbitkan surat tegoran (aanmaning) agar debibur dalam waktu 8 (delapan) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 196 HIR/207 RBg segera memenuhi kewajibannya untuk membayar utangnya secara sukarela. Apabila debitor tetap lalai untuk memenuhi kewajibannya sesuai jadwal yang ditentukan, atas perintah/penetapan Ketua Pengadilan Negeri akan dilakukan sita eksekusi terhadap tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan yang diikuti pula dengan dikeluarkannya Penetapan Lelang. Selanjutnya Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri akan mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL untuk dijadwalkan lelangnya. Dalam hal ini yang bertindak sebagai penjual/pemohon lelang adalah pihak Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri, sementara pihak kreditor sebagai pihak pemohon eksekusi menunggu hasil pelaksanaan eksekusi (lelang) yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
Uang dari hasil lelang akan dipergunakan untuk membayar utang debitor, setelah dibayarkan terlebih dahulu biaya-biaya yang diperlukan seperti bea lelang, dan apabila ada kelebihannya, maka sisa uang tersebut akan dikembalikan kepada pemberi Hak Tanggungan (debitor).
Jadi pada prinsipnya proses eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh bank selama ini adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana juga dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg, dan bukan atau belum dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT.
Eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT (parate eksekusi) tidak atau belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya karena dalam prakteknya pejabat/juru lelang menolak untuk melaksanakan penjualan di muka umum atas obyek Hak Tanggungan sebelum ada persetujuan atau fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berhubungan erat dengan adanya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3210 K/Pdt/1084 tanggal 30 Januari 1986 yang telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan menyatakan penjualan lelang berdasarkan parate eksekusi yang telah dilakukan tanpa melalui Ketua Pengadilan adalah perbuatan melawan hukum dan lelang yang bersangkutan adalah batal.
Keadaan inilah menurut penulis yang mengakibatkan kreditor/ pemegang Hak tanggungan maupun pejabat/juru lelang tidak mempunyai kemauan dan keberanian untuk memanfaatkan klausula parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT.
Dengan diundangkan dan diberlakukannya UUHT pada tanggal 9 April 1996, tentunya akan membawa harapan baru bagi pelaku ekonomi dan dunia perbankan, sebab kemudahan dan kepastian hukum terhadap eksekusi Hak Tanggungan khususnya parate eksekusi akan dapat direalisasikan secara nyata.
Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT tersebut telah diatur adanya 3 (tiga) cara eksekusi yang dapat ditempuh oleh kreditor/pemegang Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan bilamana debitor/pemberi Hak Tanggungan cidera janji (wanprestasi), yaitu :
  1. Eksekusi berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang ini (Parate Eksekusi), atau
  2. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) undang-undang ini, dan
  3. Eksekusi melalui penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.


Dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT tersebut, pembentuk undang-undang telah memberikan perbedaan secara tegas antara "parate eksekusi" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan "eksekusi berdasarkan titel eksekutorial" yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan (pengganti grosse akta hipotik). Demikian juga dengan Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang jo. Permenkeu No.150/PMK.06/2007 Tentang Perubahan Atas Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, telah memasukkan lelang eksekusi Pasal 6 UUHT sebagai salah satu jenis lelang yang masuk dalam pengertian lelang eksekusi disamping jenis lelang eksekusi lainnya (Pasal 1 angka 4). Oleh karena itu tidak ada alasan lagi bagi Kantor Lelang Negara/KPKNL untuk menolak pelaksanaan parate eksekusi yang diajukan oleh kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama karena adanya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan tidak sah lelang umum yang dilakukan tanpa adanya fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hal tersebut telah diatur secara tegas oleh Undang-undang.
Adalah suatu hal yang sulit dimengerti, jika saat ini, setelah diberlakukannya UUHT atau bahkan sebelumnya, karena "janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata, yang pada prinsipnya berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata), Ternyata masih banyak pihak yang ragu untuk melaksanakan parate eksekusi yang telah diatur secara tegas di dalamnya dengan alasan adanya putusan Mahkamah Agung (yurisprudensi) yang tidak sejalan dengannya. Perlu kiranya untuk dipahami, bahwa walaupun undang-undang dan yurisprudensi adalah sama-sama merupakan sumber hukum atau sebagai tempat kita mencari dan menemukan hukum, tapi undang-undang adalah merupakan produk legislatif yang bersifat umum, sehingga setiap orang harus mengakui eksistensinya sebagai undang-­undang yang aturan-aturannya berlaku dan mengikat setiap orang. Sedangkan yurisprudensi atau putusan pengadilan yang merupakan produk yudikatif, berisi kaedah atau peraturan hukum, yang hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau orang-orang tertentu saja, dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang. Bahkan seorang hakim, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak perlu mengikuti putusan-putusan terdahulu mengenai perkara sejenis, atau dengan kata lain, hakim tidak terikat pada precedent atau putusan hakim terdahulu mengenai perkara atau persoalan hukum yang serupa dengan perkara yang akan diputuskannya.
Pendapat ini telah pula bersesuaian dengan pendapat Sudikno Mertokusumo yang menyatakan :
Dalam sistem kontinental, termasuk sistem peradilan di Indonesia, seperti yang telah disinggung di muka, hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan tersebut di atas dalam sistem Kontinental ini hakim diikat oleh undang-undang. Disini hakim berpikir deduktif dari undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus. Dalam sistem Anglo-saks hakim terikat pada 'precedent' atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus, Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan pada suatu peristiwa. Disini hakim berpikir induktif.[47]
Kalau terjadi konflik norma hukum yang terdapat pertentangan norma dari undang-undang, bila dikonstruksikan prosedur pelaksanaan parate eksekusi adalah melalui pelelengan umum, prosedur tersebut merupakan eksekusi yang menyimpang dari prinsip eksekusi menurut Hukum Acara Perdata, pada Penjelasan Umum Angka 9 jo. Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3), yang intinya pelaksanaan parate ekskusi berdasarkan pada Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg.
Dalam ilmu hukum kalau terjadi konflik norma dikenal apa yang disebut dengan azas preferensi, yaitu suatu azas pengutamaan atau azas mengalahkan. Ada beberapa azas-azas penyelesaian konflik[48], adalah :
a.       Azas lex posterior (lex posterior derogate legi priori): undang-undang yang kemudian mengalahkah yang terdahulu.
b.      Azas lex specialis (lex specialis deroga legi general): undang-undang khusus mengalahkan yang umum.
c.       Azas lex superior (lex superior deroga legi inferiors): undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.
Dari ketiga azas tersebut yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik norma adalah lex specialis deroga legi general (undang-undang khusus mengalahkan yang umum). Azas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis mempunyai kedudukan yang sama. Akan tetapi ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. Berarti prosedur untuk pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) sebagai hak dari kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.
Tentang adanya ketentuan di dalam Buku II Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang mengharuskan eksekusi hipotik dilaksanakan seperti eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau dengan kata lain harus mendapat izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini harus kita pahami bahwa petunjuk ini hanya berlaku terhadap eksekusi hipotik yang cukup kental dipengaruhi oleh adanya putusan MARI No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, akan tetapi tidak demikian halnya terhadap eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT, karena Undang-undang tersebut telah dengan tegas memberikan kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) kepada kreditur/pemegang Hak Tanggungan pertama.
Dalam Edisi Revisi Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/007/SK/IV/1994 tanggal 1 April 1994, telah ditegaskan bahwa "Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang, juga berdasarkan pasal 1178 BW (kecuali penjualan lelang ini dilaksanakan berdasarkan pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan) selalu baru dapat dilaksanakan setelah ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri".[49] Dengan demikian, jelas bisa dipahami bahwa sejak diberlakukan dan diundangkannya UUHT, Mahkamah Agung sendiri cenderung mengakui akan eksistensi parate eksekusi sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 UUHT.
Selanjutnya terhadap adanya keraguan sebagian kalangan terutama pihak pembeli lelang, bahwa pengadilan negeri akan menolak mengeluarkan perintah pengosongan dalam hal obyek Hak Tanggungan yang telah dilelang itu tidak dengan suka rela diserahkan dengan alasan karena lelang tersebut tidak dilakukan melalui pengadilan negeri, keraguan tersebut saat ini tidaklah cukup beralasan.




BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pengaturan parate eksekusi (pasal 6 UUHT) tidak konsisten dengan prinsip hukum jaminan, sebab terdapat kerancuan pengaturan mengenai perolehan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, karena di satu sisi hak itu lahir karena Undang-undang di sisi lain hak tersebut terlahir secara diperjanjikan, sehingga pengertian parate eksekusi menimbulkan makna ganda / kabur. Maka satu sisi parate eksekusi berdasarkan Pasal 16 UUHT yaitu melalui pelelangan umum dan di sisi lain melalui titel eksekutorial sehingga melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.
2.      Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pemegang hak tanggungan dalam prakteknya selama ini adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg, dan masih sedikit dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT.


B.     Saran
1.      Agar terwujudnya prinsip perlindungan hukum bagi kreditor manakala debitor wanprestasi, maka diharapkan menggunakan eksekusi berdasarkan parate eksekusi sesuai yang dimaksudkan dalam pasal 6 UUHT. Agar tujuan untuk mempercepat pelunasan piutang kreditor, dalam pengembalian dana pinjaman tersebut.
  1. Hendaknya parate eksekusi obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan sesuai dengan pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, sehingga tidak melaui fiat Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan Titel Eksekurotial, tetapi langsung melalui pelelangan umum oleh Balai Lelang Negara.


DAFTAR PUSTAKA


A.    BUKU

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.

________, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Fuady, Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Hadjon Philipus M. dan Tatiek Sri Djalmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarya, 2005.

Harahap, Yahya M, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Zahir Trading Co, Medan, 1977.

________, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982.

________, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, 1991.

________, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan Dan Arbitrase Dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Panting Serta Hubungan Keentuan Hukum Acara Perdata, Jakarta, 1992.

________, Pustaka Peradilan Jilid 1, Jakarta, 1994.

________, Pedoman Pelaksanaan Tugas can Administrasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Proyek Pembinaan 1 eknis Yustisial Mahkamah Agung RI, 1997.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

________, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2006.

Panggabean, H.P, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian Kredit Perbankan (Berikur Tanggapan), Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

Poesoko, Herowati, Parate Eksekusi Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2007.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Satrio, J, Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993.

________, Parate Eksekusi Sebagai Sarala Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

________, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti Bandung, 1996.

Sjandeini ST. Remy, Hak Tanggungan, asas-asas, ketentuan-ketentuan pokok dan masalah yang dihadapi oleh perbankan (Suatu Kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999.

Sofwan, Sri Soedewi Masychun, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-­pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1981.

Subekti, Jaminan Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, 1982.


________, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-uodang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004.
Suparman, Eman, Kitab Undang-undang Per3dilan Umum, Fokusmedia, Bandung, 2004.


B.     PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene lndonesisch Reglement).

Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fiducia.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomcr 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara / Daerah.

Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan nasional Nomor 3 Tahun1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku-Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.


Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/MK.07/2005 Tentang Balai Lelang.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07,2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 47/KMK.01/1996 Tentang Balai Lelang.


C.    MAKALAH / MAJALAH

Bank Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Jakarta, 2007.

Hasbullah, A. T, Peran Lelang Dalam mendukung Penyelesaian Kredit Macet Perbankan, Makalah Seminar, BaIai Lelang Tunjungan, Surabaya, 2008.

Muchsin, H, Mediasi di Pengadilan dan lmplikasi Hukum Lelang Eksekusi, Makalah Seminar, Balai Lelang Tunjungan, Surabaya, 2008.




[1] M. Isnaeni. Hipotik Pesawat Udara di Indonesia. Dharma Muda. Surabaya. 1996
[2] M. Isnaeni. Dalam Herowati Poesoko. Parate Excecutie Obyek Hak Tanggungan. LaksBang PRESSindo. Yogyakarta. 2008. Hal 16
[3] Sutan Remy Sjahdeini. Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan. Majalah Hukum Nasional No. 2 Tahun 2000. Hal 19-20
[4] Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal 17
[5] Ibid, hal 39
[6] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pustaka Peradilan Jilid XIV, Jakarta, 1996, hal 5-6
[7] Ibid, hal 7
[8] Remu Sjahdeini, Op. cit., hal 43
[9] Bank Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Jakarta, 2007, hal 9
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal  94-95
[13] Ibid., hal 141.
[14] Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda – Indonesia – Ingirs, Aneka, Semarang, 1977, hal. 655
[15] Pitlo, 1949, Dalam Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Obyek Tanggungan, LaksBang, 2008, hal. 242
[16] Herowati Poesoko, op.cit., hal. 248
[17] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 7 - 8
[18] Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
[19] Remy Sjahdeini, op. cit., hal 45
[20] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 81-83
[21] J. Satrio, Parete Eksekusi Sebagai sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal 22
[22] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 5
[23] Ibid, hal 13
[24] Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hal 283
[25] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 33
[26] Ibid, hal 37
[27] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2006
[28] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 26-27
[29] Ibid, hal 39
[30] Ibid, hal 16
[31] Ibid, hal 47-48
[32] Herowati Poesoko, op. cit., hal 264
[33] Remy Sjahdeni, op. cit., hal 55
[34] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 5
[35] A.T. Hasbullah, “Peran Lelang Dalam Mendukung Penyelesaian Kredit Macet Perbankan”, Makalah Seminar, Balai Lelang Tunjungan, Surabaya, 2008, hal 7
[36] Yahya Harahap, op. cit., hal 7
[37] Eman Suparman, Kitab Undang-undang Peradilan Umum, Fokusmedia, Bandung, 2004, hal 55
[38] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 13
[39] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal 20
[40] M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal 60
[41] Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., hal 269
[42] J. Satrio, op. cit. hal 24
[43] Herowati Poesoko, op. cit. hal 239
[44] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 45
[45] Herowati Poesoko, op. cit., hal 5
[46] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit. hal 44
[47] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005, hal 115
[48] Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal 31, dikutip dari P.W. Brouwer, et. Al., Coherence and Conflict in Law, W.E.J. Tjeenk Willink, Kluwer, Zwolle, hal. 217-223
[49] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrfasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahakmah Agung RI, 1997, hal 136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar